Siapa sih paling senang dengan adanya trotoar? Pedagang kaki lima. Ada ruang untuk berjualan. Setelah pedagang, yang suka adalah pembeli. Nah, pembelinya bisa pejalan kaki sampai pengendara mobil.
Kalau kita menanya penjual dan pembeli tadi soal apa kegunaan trotoar, jawabannya bukanlah untuk berjualan melainkan untuk pejalan kaki. Emang nggak nyambung.
Sekarang lihatlah foto. Ada sejumlah tenda mengisi trotoar. Lokasinya di tepi polder dalam perumahan. Kenapa bisa ada tenda untuk berjualan mestinya sudah mendapatkan izin dari RW. Tenda jelas merupakan konstruksi ringan temporer. Untuk sementara.
Dalam tafsir sesuai akal sehat, tenda warung itu dirancang untuk kemudahan pasang dan bongkar. Memang sih, istilah yang lumrah adalah bongkar pasang. Padahal dalam praktik pertendaan, mestinya memasang dulu baru nanti membongkar.
Artinya, tenda hanya dipakai saat berjualan. Usai berjualan maka tenda dibongkar. Nanti atau besok atau kelak akan berjualan lagi harus mendirikan tenda.
Membaca teks lima paragraf di atas Anda membatin ngapain sih menyodorkan tulisan panjang untuk hal yang simpel dan sudah jelas, yang mestinya selesai dalam satu kalimat?
Hal simpel di atas kertas belum tentu sederhana dalam kenyataan. Buktinya PKL menjadi masalah di mana-mana. Kasus penertiban terbaru adalah di jalan raya Puncak, Kabupaten Bogor.
Sebentar lagi pilkada. Coba amati apakah kandidat di wilayah Anda punya rencana program yang masuk akal dalam penataan ekonomi dan ruang kota untuk PKL.
Jangan-jangan para calon konsultan kandidat sudah siap dengan jawaban: soal PKL akan dibahas dalam kampanye kalau ada yang bertanya. Isi bahasan: yang populis, jangan terdengar mengancam rezeki PKL, supaya tak kehilangan potensi suara pemilih.
Artinya jawaban populis itu juga seperti tenda warung yang temporer. Mungkin akan berlangsung dalam rentang waktu panjang, dalam arti tak ada penggusuran, tetapi juga mungkin baru setahun berkuasa sang wali kota atau bupati akan menggasak PKL.
Bikin pakta kampanye takkan mendepak PKL? Tergantung permintaan. Misalnya sang kepala daerah ingkar janji, memangnya gampang memakzulkan dia?