Syahrul Yasin Limpo (SYL, 69), bekas menteri pertanian, hari ini (11/7/2024) divonis sepuluh tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor Jakarta. Entahlah sejak awal saya seperti terserempet efek disleksik saat membaca abreviasi SYL sebagai YSL. Kebetulan kemarin sore saya mendapati logo YSL dalam handuk KW untuk wastafel.
YSL adalah inisial untuk perancang busana Yves Saint Laurent. Saat lebih sering rebahan di kamar karena sakit kemarin, saya kerap memutar musik instrumental. Kala tablet memutar karya pemusik Saint-Preux, saya kembali terantuk cara melafalkan nama Prancis, padahal hanya membatin. Cara melafalkan Saint dari Preux mengingatkan saya pada Saint dari Laurent.
Jangankan bahasa Prancis, pelafalan bahasa Inggris saya pun buruk. Land, lend, dan lent di mulut saya terdengar sama. Begitu pun surface dan service, serta nock dan knock. Boleh jadi ucapan tax dan text saya terdengar sama. Mungkin saya harus belajar ke Pare, Kediri, Jatim, supaya dapat lancar berucap termasuk dalam melafalkan kata Inggris pungutan macam debris.
Kembali ke ke YSL. Bagaimana saya melafalkan? Dengan cara Indonesia: yé-ès-èl. Karena alasan patriotik? Tak ada hubungannya. Sesuka saya.
Nyatanya saya melafalkan AI dari artificial intelligence sebagainya “é-ai”, bukan “a-i”. WHO, nama badan kesehatan dunia, saya lafalkan “wé-ha-o”. Ritsleting YKK saya baca yé-ka-ka.
Tetapi audio AKG sejak dulu saya baca é-ké-ji. Ya, saya tidak konsisten. Padahal nama AKG, perusahaan Austria sejak 1949, bermula dari bahasa Jerman: Akustische und Kino-Geräte Gesellschaft. Kemudian AKG dibeli Harman dari Amerika (1994), dan akhirnya Harman dibeli Samsung (sèm-sang?) dari Korea (2017).
Adapun BMW dan VW juga saya lafalkan menurut lidah Indonesia: bé-èm-wé dan vé-wé. Bukan BMW dengan gaya Inggris bi-èm-dabêl-yu. Bukan VW dalam lafal Jerman yang oleh telinga saya terdengar vaw-wé.
Itu tadi untuk singkatan, tepatnya abreviasi. Jika menyangkut gabungan singkatan dan kata, saya menuruti apa yang enak menurut saya. Misalnya J.W. Marriott, yang saya baca dengan lafal Indonesia: jé-wé ma-ri-yot. Tetapi untuk TAG-Heur saya melafalkannya tag-hoyer. Rada bener.
Mengapa saya dablek atau bebal? Karena saya bukan penyiar radio, pranatacara (MC) maupun penyiar TV, bukan pula pengoceh podcast audio maupun vlogger. Mereka harus pas melafalkan nama, termasuk nama pesohor.
Misalnya pun kelak saya memanfaatkan AI, yakni teks ke suara, dan ternyata salah dalam melafalkan, nama Daniel dibaca da-nil bukan da-ni-yèl, lalu Lutfie dibaca lut-fi-yé, juga akan saya biarkan karena sebagai narator saya tak menampakkan wajah.
One Comment