Kita butuh arsip salah tangkap dan peradilan sesat

Harus ada arsip ringkasan kasus, lengkap dengan nama korban dan penegak hukum yang harus bertanggung jawab, agar menjadi sejarah bersama.

▒ Lama baca 3 menit

Kasus Pegi Setiawan dan Saka Tatal, sebagai korban salah tangkap polisi, tetapi untuk Saka berujung ke peradilan sesat, membuat orang bernurani menjadi sedih dan prihatin. Kemenangan hukum untuk Pegi menebarkan sukacita dan haru. Kita sudah merdeka 79 tahun namun tak banyak kemajuan dalam penegakan hukum dan keadilan.

Saya membayangkan kasus-kasus salah tangkap dan peradilan sesat itu terdokumentasikan dengan ringkas, baik, dan andal. Isinya mudah dicerna. Semacam konten for dummies, for beginners, dan for idiots — bahkan for kids.

Hmmm… for kids. Kasus tahanan salah tangkap, seperti dialami Paul Calib Anders (1973) yang oleh tahanan lain dalam tuturan Kompas.id, “Bahkan, ia disiksa para tahanan dan dipaksa memakan kotoran manusia campur urine yang disebut rujak alpukat”, apakah layak dibaca anak-anak, bahkan orang dewasa pun ngeri dan jiik membacanya. Maaf.

Nama petugas juga

Dalam arsip tersebut tak hanya ada nama korban tetapi juga nama petugas kepolisian dan anggota korps militer yang harus bertanggung jawab, nama jaksa, dan nama hakim. Nama mereka dan keterangannya ada dalam tabel.

Pada masa Orde Baru tentara menjadi lembaga ekstrayudisial. Dalam kasus pembunuhan aktivis buruh Marsinah di Sidoarjo, Jatim (1993), Kodam Brawijaya menangkap, memeriksa, dan menyiksa sejumlah orang yang diposisikan sebagai tersangka. Salah satu tangkapan, Mutiari, mengalami keguguran (¬ Kontan, 23/4/2023).

Jangan sampai mereka, para pelaku, dipermudah berkelit atas nama hak untuk dilupakan sambil menyalahkan lembaga pemberi tugas sekalian menempatkan diri sebagai korban juga.

Lalu apakah arsip tersebut berupa buku? Bisa. Asalkan ada versi e-book gratis di tempat virtual yang terawat, dan mudah diakses.

Konten media daring terkubur

Bagaimana kalau media berita membuatnya? Saya agak skeptis. Bukan pada kemampuan menulis melainkan nasib konten media daring setelah media tersebut tutup. Ketika sebuah media mati, maka hampir semua arsip digitalnya, teks maupun gambar, pun terkubur. Di Wayback Machine belum tentu ada.

Misalnya pun ada salinan konten media berita di media sosial maka belum tentu lengkap. Taruh kata lengkap, kalau sebuah platform media sosial tamat, konten pun lenyap. Apakah ada jaminan semua pemilik pelantar menyediakan backup siap unduh untuk pemilik akun, dalam rentang waktu tertentu, seperti dilakukan Posterous yang setelah dibeli Twitter lalu dibunuh (2013)?

Kalau ada lembaga dan perorangan membuat situs arsip termaksud, yang terbayang sejak awal adalah berbasis mesin Wiki karena saya tak tahu pelantar lain yang andal. Wiki itu yang dipakai oleh Wikipedia.

Tentu, rak adalah satu hal dan kualitas buku adalah hal lain. Situs arsip yang saya bayangkan tersebut harus terstruktur, dengan bahasa yang tertib, sesedikit mungkin opinionated dalam bertutur, kecuali dari kutipan sumber eksternal, dan dengan rujukan yang jelas.

Secara teknis mesin Wiki lebih ramah untuk urusan macam itu. Penulis yang terbiasa membuat buku kronik pun akan lebih nyaman.

Pemuatan di Wikipedia

Lalu di situs apa arsip macam itu? Yang lebih mungkin ya di Wikipedia. Misalnya seorang editor bosan, ada tim yang mengurus karena Wikipedia di banyak negeri, misalnya Indonesia, berbadan hukum dan sejauh ini terbukti hidup terus. Wikimedia Indonesia adalah mitra Wikimedia Foundation di Amerika Serikat.

Tetapi bukankah Wikipedia punya lubang karena merupakan sistem terbuka? Bisa saja ada orang yang tak ingin namanya tercatat sebagai pelaku salah tangkap dan peradilan sesat, padahal faktual, lalu menyunting konten.

Jika itu terjadi, setahu saya mekanisme di Wikipedia akan mengatasi dengan dukungan pengawasan konten oleh khalayak. Selama ini setiap kali lema tentang seseorang —tepatnya tentang orang (yang sedang) terkenal — di Wikipedia diusili, selalu dapat dipulihkan.

Contoh kasus salah tangkap dan peradilan sesat

Berikut contoh kasus yang saya petik dari Kompas.id (7/7/2024). Memang sih istilah salah tangkap bisa didebat karena untuk kasus tertentu, dalam pengandaian saya, bisa saja disengaja. Artinya bukan kelalaian melainkan niat.

  1. Paul Calib Anders, pengecer koran di Pasar Minggu, Jakarta, dituduh sebagai penembak yang menewaskan seorang korban dan melukai seorang warga. Ia ditangkap 27 September 1973, dibebaskan 5 Oktober, setelah pelaku sesungguhnya menyerahkan diri.
  2. Sengkon dan Karta, warga Pondokgede, Bekasi, dituduh membunuh suami istri (1974). Mereka divonis penjara 12 dan tujuh tahun pada 1997. Akhirnya pembunuh sebenarnya mengaku. Pada 1980 Sengkon dan Karta bebas, namun Mahkamah Agung menolak gugatan ganti rugi Rp100 juta dengan dalih melewati batas waktu.
  3. Lingah bin Sentara, Pacah bin Sentara, dan Sumir bin Perinding, warga Ketapang, Kalbar, dituduh membunuh seorang pria. Pada 1987 mereka divonis hukuman terungku sebelas tahun. Akhirnya, meskipun polisi melarang, pembunuh sebenarnya mengaku.
  4. Mudofi alias Mujahir, warga Jember, Jatim, dituduh membantu istrinya membunuh Watjik (1990). Ia divonis 12 tahun penjara, istrinya 15 tahun penjara. Pada Juni 1992, Mahkamah Agung memutuskan Mudofi terbebas dari dakwaan itu. Istrinya, yang juga pacar gelap korban, mengaku sebagai pelaku.
  5. Budi Harjono, warga Bekasi, Jabar, dituduh membunuh ayahya (2002). Polisi memaksanya mengaku sebagai pembunuh, bahkan memaksa ibunya dan PRT mendukung skenario. Budi sempat ditahan enam bulan. Padahal pembunuhnya adalah bekas karyawan toko almarhum.

Berita tersebut juga memuat lima kasus salah tangkap dan atau persilangan sesat lainnya.

Jika kasus-kasus tersebut dibiarkan menguap, sehingga publik lupa atau tak tahu sama sekali, pengulangan akan terjadi. Lalu penegak hukum yang harus bertanggung jawab tak punya rasa bersalah apalagi malu, dan lancar pula kariernya.

Tinggalkan Balasan