Pegi dan rasa malu polisi

Semoga tak ada kilah, termasuk dari atasan, bahwa salah tangkap dalam menjalankan tugas tak perlu tanggung jawab pribadi pelaksana.

▒ Lama baca < 1 menit

Pegi dan rasa malu polisi

Sidang praperadilan PN Bandung, Jabar, Senin (8/7/2024), memutuskan penetapan tersangka Pegi Setiawan, sebagai pembunuh Vina dan Eky, oleh Polda Jabar tidak sah. Hakim tunggal Eman Sulaeman pun memerintahkan polisi mencabut status tersangka terhadap Pegi.

Latar cerita bertaburan di media, bahkan sebelum putusan praperadilan. Dalam arsip berita juga terbaca polisi berkukuh tak melakukan salah tangkap.

Lantas apa tanggung jawab moral dan hukum para polisi yang melakukan salah tangkap dalam kasus Vina Cirebon? Setidaknya adakah perasaan malu?

Dari delapan terpidana, satu yang sudah bebas yakni Saka Tatal sudah mengajukan peninjauan kembali putusan. Entahlah, apakah tujuh terpidana yang masih dalam bui sebenarnya seperti Saka. Dalam setiap kasus peradilan sesat khalayak berhak bertanya apa tanggung jawab para hakim penyidang.

Orang religius akan mengatakan tanggung jawab para hakim di Pengadilan Akhir yang tak terlihat manusia karena putusan mereka diawali dengan kalimat demi keadilan berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. Tetapi sebelum ajal menjemput para hakim, tak bolehkah sesama manusia atas nama dan sesuai etika dan hukum mengadili mereka, termasuk para hakim penerima suap dalam kasus apa pun?

Sejauh saya tahu, jadi silakan Anda koreksi kalau saya salah, dalam undang-undang modern di mana pun tak ada teks yang menyebut hakim sebagai wakil Tuhan. Namun masyarakat memiliki sebutan itu dan lagi-lagi sejauh saya tahu tak ada hakim yang menyangkal.

Kembali ke kasus Pegi dan Saka, ahli hukum lebih tahu apa yang dapat mereka tuntut secara hukum demi keadilan.

Harapan keluarga Vina itu sederhana namun menampar polisi, karena mereka ingin polisi segera menangkap pelaku pembunuhan yang sebenarnya. Menangkap pembunuh pada 2016 yang hingga kini masih gelap kasusnya.

Pada masa Orde Baru ada lelucon subversif nan pahit, dengan pelaku tentara maupun polisi. Jika ada lomba menangkap serigala dalam hutan, pemenangnya adalah peserta dari Indonesia: paling cepat. Tim Indonesia keluar dari hutan dengan menenteng kelinci sekarat. Kata ketua tim, “Dia akhirnya mengakui dirinya serigala.”

Bagaimana aparat keamanan dan penegak hukum mendapatkan dan memperlakukan tersangka, sila cari arsip berita dalam pembunuhan terhadap aktivis buruh Marsinah (1993) dan wartawan Muhammad Syarifuddin alias Udin (1996).

Polisi salah tangkap, remaja 16 tahun diperlakukan bak hewan

¬ Foto: Republika

Tinggalkan Balasan