Sudah lazim di mana-mana, suka maupun tak suka olahraga hampir setiap orang punya sniker. Dua nenek penjual sayur yang setiap pagi mengelilingkan gerobak di lingkungan saya juga bersniker. Dulu mereka mengenakan sandal gunung dan berkaus kaki.
Oh ya, setahu saya KBBI belum menyerap sniker sebagai serapan sneakers. Sniker yang saya maksudkan adalah sepatu sport(y), bukan hanya yang kanvas seperti Converse.
Memang sih bahasa di pasar bisa membingungkan. Sepatu dengan sol karet, slip-on maupun bertali, dengan kulit imitasi maupun asli, dan berupa sepatu kasual, bukan formal, dalam katalog kadang juga disebut sneakers.
Kini dari balita hingga lansia mengenakan sniker. Lho, bukannya sniker sudah lama hadir dalam kehidupan kita, dulu disebut sepatu kets (ada yang bermerek Keds) dan sepatu olahraga?
Ya, betul. Tetapi sniker kian lumrah tampaknya sepuluh tahun terakhir. Perempuan dengan rok ke kantor dengan sniker sporty makin banyak. Di kantor bersniker, generasi senior yang sudah pensiun dahulu yang mengenakan rok atau celana panjang dengan sepatu formal maupun kasual non-sporty.
Di gereja sudah lumrah jika ada kakek dan nenek dengan pakaian halus, rok batik maupun pantalon dengan kemeja halus, menggunakan sepatu olahraga. Bahkan di resepsi pernikahan pun makin lumrah pria muda bercelana halus dan kemeja batik mengenakan sniker berwarna terang. Para birokrat setelah era Jokowi juga gemar bersniker.
Jadi apa moral ceritanya? Yang namanya mode itu soal kelumrahan. Kalau Anda bukan siapa-siapa dan berbusana mendahului kelaziman akan dianggap aneh. Abad lalu pada era rambut gondrong, pemuda yang berambut cepak tetapi tidak crew cut akan dianggap nyeleneh. ABCD: ABRI bukan, cepak doang.
Dulu sniker umumnya dijodohkan dengan celana jin dan khaki, bukan celana halus kecuali untuk anak sekolah. Kalau jin dan kemeja batik lengan pendek plus sniker, itu siswa SMA Katolik. Tambah satu lagi: di sekolah Katolik tertentu kalau ada siswa gondrong berarti nilainya minimum delapan semua.
5 Comments
Saya pernah bersepatu kets, sudah lama banget, abad lalu.
Sejak sekitar 10 tahun silam saya memilih bot. Sekarang : jagong manten pakai bot, melayat pakai bot, ke rumah sakit pakai bot, ngantar istri pakai bot, ketemu kawan (-kawan) kadang pakai bot kadang pakai sandal jepit Eiger (bukan komentar berbayar/iklan/titipan).
Yang penting nyaman ๐๐
Soal nyaman, saya nyaman pakai kaus saat jagong manten, tapi banyak yang enggak berkenan๐
Saya nggak berani jagong pake kaus.
Seumur-umur ikut kebaktian Minggu pake kaus krn lagi main ke rumah adik saya di Bogor, abad lalu.
Kalau jagongnya sama istri, saya enggak berani berkaus๐ Kudu rapi, meski bukan baju batik.
Tapi dia tahu kalau saya jagongnya enggak sekalian/berdua, saya kadang pakai kaus. Dan dia biasa saja, tidak komentar apa-apa ๐