Membuang muka itu mudah. Dalam sepersekian detik terlaksana. Tetapi mengenyahkan jendela tak seringan membuang muka karena bobot barang dan jarak ke kotak sampah.
Membuang muka takkan mengakibatkan kehilangan muka. Begitu pun membuang jendela, berbulan-bulan bahkan lebih tergeletak di luar rumah tak ada orang yang meminati. Mungkin karena hanya berupa daun jendela, tanpa kusen. Boleh jadi jika jendelanya dari jati model lawasan, tertutup maupun berjalusi, akan ada yang memetiknya untuk dekorasi fasad bangunan gaya eklektik.
Untuk kesekian kalinya, saat berlatih jalan kaki, saya menjumpai daun jendela tersadarkan pada tebing pendek di belakang bak sampah. Saya pernah melihatnya. Namun kemarin pagi saya tertarik untuk memotretnya.
Pemulung, bahkan yang membawa gerobak, tak berminat mengambil daun jendela tak berkaca karena sulit diuangkan. Rangka jendela tipis kurus sulit dijual. Kaca kecil-kecil juga tak ada yang mau, mungkin karena tak semua orang punya pemotong kaca. Kalau ingin mengenyahkan daun jendela buangan dari mata harus membayar tukang sampah maupun pemulung.
Persoalannya nilai ekonomis barang jualan. Kursi karatan yang saya taruh di atas bak sampah dalam sekejap lenyap. Namun bekas rak berbahan MDF (medium density fiberboard), sebagian sudah dilahap rayap, yang dibuang tetangga, tak ada yang bersedia mengangkat. Kalau itu rak kayu keras, meskipun sudah tercoak rayap mungkin masih ada yang mau.
Jadi, barang buangan harus bernilai ekonomis? Menurut saya tidak. Harus ada aturan pemerintah kota yang mewajibkan truk sampah mengangkut semua barang buangan. Lebih sip kalau pemkot punya truk sampah pengeremus barang besar seperti sofa dan jendela kayu berkaca.
Memang sih masalah mendasar adalah mengurangi sampah dan mengelola sampah.