Baiklah, saya akui judul tulisan ini lebay. “Anak sekecil itu” adalah dari lagu Iwan Fals, “Sore Tugu Pancoran” (1985), yang selama Pilpres 2024 dipakai untuk meledek seorang cawapres yang ditolong oleh Mahkamah Konstitusi. Saya asal saja mengetikkan judul itu pada ponsel. Demikian pula kata-kata “dalam potret kemiskinan”. Saya memang sering membuat judul tanpa berpikir lama.
Tulisan ini bermula dari tangkapan layar foto anak kampung nelayan Muara Angke, Jakut, sedang meniti patok bambu. Ada dua hal yang membuat saya kagum. Pertama: seumur dia dan seterusnya saya tidak dapat melakukan itu, apalagi kini saat berdiri pun saya limbung.
Kedua: saya membayangkan jika anak itu terpeleset pasti akan jatuh ke air hitam rawa-rawa pantai yang superjorok, lokasi di sana sangat kumuh.
Tentu ada penghibur bagi diri sendiri: anak-anak di lingkungan macam itu sudah terbiasa dengan apa yang saya anggap berbahaya.
Tiga puluh tahun silam, di Pelabuhan Sunda Kelapa, saya takut setengah tewas saat meniti balok mentul-mentul yang menjadi wot para kuli angkot karung terigu. Wot mendaki itu menghubungkan dermaga dan kapal.
Di bawahnya adalah air hitam bau, dalam pula. Saat itu saya akan turun dari kapal. Saya sampai ke kapal itu dari kapal ke kapal, karena antarkapal saling menempel. Dua teman saya, salah satunya cewek, mereka itu fotografer dengan tas berat, duluan turun dengan meniti. Kalau saya harus turun dari kapal pertama berarti kembali ke titik sejauh dua ratus meter.
Mulanya saya tak tega melihat arsip foto lain dalam berita Kompas.id ihwal biaya hidup dan kemiskinan. Saya pernah melihat foto-foto itu di rubrik Galeri dan tak tega. Berat membayangkan hidup di lingkungan dengan sanitasi buruk macam itu, tanpa air bersih, apalagi punya anak. Lantas terbayang bagaimana saat Covid-19 lalu.
Di luar pandemi bagaimana pelayatan saat ada warga meninggal? Lalu bagaimana jika ada pesta pernikahan? Tentu para pekerja sosial lebih paham. Selebihnya yang paling paham adalah warga. Mereka yang menjalani tanpa berjarak.
Saya akui Kompas.id punya banyak foto tentang kemiskinan. Nah, soal foto itu yang saya angkat. Saya tak menyalahkan jika ada orang berpendapat media untuk kelas menengah ke atas, juga LSM, punya foto-foto kuat dari lingkungan miskin kumuh. Malah saya pernah mendengar komentar, “Itu cuma romantis(is)me dengan pendekatan estetika kemelaratan dari kelas makmur sejahtera.”
Kenapa begitu karena si komentator berpandangan orang-orang yang bermukim di sana tak suka apalagi bangga dengan foto media tentang lingkungan hidupnya. Pose apalagi dalam swafoto warga sebisanya menghindari latar visual yang menurut kacamata orang luar adalah sebuah realitas.
Saya tak membantah argumentasi tadi. Saya malah membayangkan sekarang mungkin tak tega, pun tak tahan, memotret lingkungan macam itu, apalagi jika di sana ada anak-anak dan lansia.
Tetapi tak adakah keceriaan dalam lingkungan berat macam itu? Senyum dan tawa beberapa cewek remaja Kebon Melati, Tanahabang, Jakpus, yang duduk di atas pagar jembatan saat difoto, menebarkan pesan bahwa keriangan bisa terbit di mana pun.
Di banyak lingkungan kumuh payah perayaan 17 Agustus juga meriah, suatu hal yang di lingkungan makmur belum tentu dirayakan, jalanan di sana tetap sepi dan terteduhi pohon besar, pintu gerbang tinggi tetap tertutup, apakah setiap rumah sedang ada penghuninya atau tidak tak ada yang tahu karena yang segera menampak adalah petugas satpam.
Foto-foto jurnalistik adalah bagian dari kepingan sejarah. Kelak ketika lingkungan di Muara Angke dan Kebon Melati berubah — semoga berubah lebih baik — ada arsip foto dengan anotasi untuk becermin kepada masa lampau.