Gaya wartawan itu macam mana? Kalau versi kartun sejak dahulu adalah bertopi, memegang notes. Kartun 1990-an ada yang menambahkan rompi. Seingat saya, rompi pemancing maupun rompi fotografer mulai memode 1980-an.
Dalam benak sebagian khalayak, wartawan selalu bertopi, berkaus, membawa notes serta kamera, mengenakan rompi dan celana kargo, dan tentu menggendong ransel. Ada juga yang membawa tas selempang, khusus untuk kamera, dahulu yang top Tenba. Biasanya itu fotografer.
Apakah mesti demikian? Belum tentu. Sang jurnalis sedang meliput apa, bertemu siapa, juga menentukan busana. Tak mungkin bergaya lapangan di segala acara. Sesekali berdasi bahkan berjas juga perlu.
Pada awal 1990-an, semua reporter Media Indonesia sempat berdasi. Omong-omong busana rapi, wartawati Femina dan Dewi dulu selalu rapi wangi. Wartawati media lain, yang naik taksi atau pribadi maupun kantor, juga banyak ayu dan harum. Wartawan cowok peliput fesyen pun demikian.
Menyangkut busana kerja wartawan, koran Kompas membuat produk “outfit gaya jurnalis”, bekerja sama dengan UNKL 347. Harga satu set press gear kemeja, topi, rompi, dan celana adalah Rp1.250.000. Di Gerai Kompas maupun lokapasar produk tersebut tersedia.
Tersebutkan dalam iklan: “Apakah kamu tipe orang yang tidak pilih-pilih baju waktu diajak teman nongkrong? Bagaimana pun juga, pilihan berpakaian kamu akan memunculkan sebuah citra. Citra akan dirimu yang muncul di benak orang. Karena itulah, kamu mesti ‘melek’ soal pakaian yang dipilih biar tampil menarik sekaligus unik setiap saat.”
Lantas penegas ajakan berbunyi: “Jadi kalau besok-besok diajak temen nongkrong lagi, kamu sudah bisa tampil keren dengan gaya khas jurnalis.”
Hmmm… gaya khas jurnalis. Saya ingin berbusana gaya khas narasumber. Jangan tanya narasumber yang bagaimana.
Β¬ Bukan tulisan berbayar maupun titipan
3 Comments
Gaya wartawan saya di Solo empat tahun hingga pertengahan Juli 1998 : kaus, rompi, jin biru, sepatu kets/sepatu sandal, tas pinggang atau tas cangklong (belum kenal ransel), nyangklong kamera, naik trail tua protholan, kurus dan gondrongπ
Gaya di Jakarta enam tahun sama dengan saat di Solo, tapi tas pinggang diganti ransel, jarang bawa kamera (kalau bawa ya dimasukkan ransel), naik motor semi trail Yamaha YT/bus kota.
Setelah itu enam tahun di Surabaya, ngantor, tidak ke “lapangan” : kaus, jin biru, sandal jepit (tapi nyimpan sepokat di kantor, dipakai kalau ada tamu), ransel (isi bukan perlengkapan jurnalis), motor YT.
Gaya di Yogya, dan setelah itu di Solo lagi : kaus, jin biru, sandal jepit (naruh sepatu di kantor), ransel, trail tua dan trail KLX.
Nah, cerita dong gaya Paman dahulu.
Gaya saya biasa saja. Malah lebih sering pakai kemeja, kadang saya masukkan ke celana jin maupun khaki. Saya belum pernah punya rompi. Nggak tahu kalo besok. Saya jarang pake sneakers. Tas, saya pake sling bag. Pake ransel setelah jarang ke lapangan. Meliput sering naik taksi. Dulu gak pake topi karena punya rambut. π
Era akhir di majalah berita karena jarang ke lapangan saya kerap berkaus dan kadang bercelana pendek.
Sekeluar dari majalah berita saya sering berkaus dan bercelana pendek tapi punya kemeja dan celana panjang di kantor. Sepatu bisa slip on, boots, sepatu sandal halus, maupun sneakers, hingga tempat kerja terakhir sampai 2019.
Di kantor sebelum kantor terakhir, kalau malam hingga pagi saya pakai sarung batik gonta-ganti karena dulu sarung batik saya banyak, melebihi kemeja batik π
Dan kita sama-sama punya gaya doktor.ππ