Iseng saya baca iklan selebar hampir dua kolom koran Kompas itu. Ada nama yang tercetak tebal: A.M. Hendropriyono. Tanpa pangkat purnawan TNI AD. Tanpa gelar akademis. Jadi, mungkin saja itu Hendropriyono yang lain.
Misalnya si pemilik nama adalah Jenderal TNI (Purn.) Prof. Dr. Abdullah Mahmud Hendropriyono, S.T., S.H., M.H., yang kita kenal, antara lain pernah mengepalai Badan Intelijen Indonesia, persoalan hukum yang disebut dalam undangan, oleh pengacara Erwin Kallo, bisa menarik bagi wartawan. Names make news. Ada faktor prominensi.
Tetapi apakah pasti menjadi berita? Belum tentu, kecuali salah satu pihak yang bersengketa menggelar jumpa pers maupun menyebarkan siaran pers. Biasanya pihak lawan akan melakukan serupa.
Kalau hanya undangan terbuka, melalui iklan kecil di koran, belum tentu editor media berita daring yang rakus warta peduli. Coba tengok, apakah kemelut warisan Probosutedjo, adik bekas presiden Soeharto, menjadi berita?
Tentu nama bukan satu-satunya unsur dalam kelayakan berita. Setiap media punya alasan kenapa mengangkat maupun tidak mengangkat suatu kejadian.
Soal lain, menyangkut kasus perdata, di kalangan redaksi, terutama majalah pada era cetak, kadang muncul keengganan karena setelah menjadi berita maka redaksi harus melayani hak jawab masing-masing pihak. Debat berlangsung di luar sidang. Media kertas dengan ruang konten terbatas menjadi pemuat polemik.