Saya memang sering naif, sampai hari ini masih menganggap bahwa isu ESG, setidaknya sebagai istilah, terasa kelewat tinggi bagi umumnya konsumen media. Orang Jawa bilang ndakik-ndakik. Semoga pekan depan kenaifan saya terkoreksi. Hari ini kenaifan saya mendapati Kompas merayakan ultah ke-59 dengan sepenuh konten tentang ESG: 16 halaman.
ESG merupakan singkatan environmental, social, dan governance. Dalam penjelasan Kompas di halaman depan yang berisi infografik besar:
ESG merupakan konsep yang mengedepankan pembangunan, bisnis, ataupun investasi yang berkelanjutan dan dapat terukur dari segi dampak terhadap lingkungan (environmental), sosial (social), dan tata kelola (governance). Tujuannya adalah untuk memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan generasi mendatang.
Pagi tadi ketika saya bagikan foto halaman depan Kompas edisi ultah ini kepada seorang perempuan berusia 31 tahun via WhatsApp, dia girang dan berkomentar, “Ini sih kerjaanku.” Lha ya, wong dia bekerja di bagian komunikasi perusahaan investasi hijau yang beroperasi di Indonesia.
Jadi kenapa Kompas membuat edisi ESG? Dia paham siapa pembacanya. Reputasi selama 59 tahun ibarat jaminan. Tetapi kenaifan saya menyergahkan tanya: apakah di luar pembaca Kompas isu ESG juga menarik dan penting?
Untunglah saya kadang suka mendebat diri sendiri: sebagai istilah dan konsep mungkin ESG kurang diakrabi banyak orang, namun sebagai gagasan dan harapan sudah melekati banyak benak karena kehidupan harus dirawat bersama.
Soal media mengenali siapa pembacanya, saya berpengandaian dalam era digital sebagian gambaran sosok komunal pembaca dapat diprofilkan oleh analis data di setiap penerbit. Bisa jadi sasaran bidik saat membuat media daring tak terbuktikan dalam praktik. Ibarat kata niat semula merengkuh para penentu kebijakan tetapi ternyata mayoritas pembacanya adalah pensiunan yang butuh bacaan bukan dalam bahasa gaul milenial dan generasi Z.
Soal siapa dan bagaimana pembaca loyal suatu media pada era cetak barangkali hanya merupakan komunitas setia dalam asumsi penerbit dan redaksi. Bisa klop dengan realitas dan bisa juga tidak. Ketika Arswendo Atmowiloto menghentikan penerbitan tabloid Dangdut pada 1990-an yang dia pimpin, dia berkata, “Ternyata kultur dangdut itu bukan kultur baca.”
Tabloid Dangdut kemudian menjadi tabloid wanita Aura.