Ihwal foto tangan hacker

Bagaimana dengan foto hasil AI generatif untuk jurnalistik? Setahu saya teknologi dan etika itu berjalan bersama. Para jurnalis paham itu.

▒ Lama baca 2 menit

Arsip foto jari peretas dan kibor komputer karya AFP di Kompas.id

Sudah jamak jika berita dan artikel perihal dunia teknologi informasi menggunakan foto ilustrasi dunia komputer. Misalnya jemari di atas kibor. Tadi sewaktu melihat gambar andalan berita serangan Ransomware di Kompas.id (27/6/2024), kesan saya biasa saja. Tetapi setelah sampai ke laman artikel saya terkesan oleh kapsinya:

Seorang anggota kelompok peretas Red Hacker Alliance yang menolak menyebutkan nama aslinya menggunakan komputernya di kantor mereka di Dongguan, Provinsi Guangdong Selatan, China, Selasa (4/8/2020).

Kredit untuk arsip foto itu adalah AFP/Nicolas Asfouri. Bagi saya foto itu menarik. Memang, tanpa wajah. Hanya tangan. Namun keterangan bahwa itu mewakili sosok seorang peretas di Cina bagi saya penting.

Benarkah itu tangan seorang peretas? Sepanjang tak muncul sanggahan maka saya menerimanya sebagai kebenaran karena saya berpijak pada pengandaian etika jurnalistik. Foto berita tidak boleh berdusta. Misalnya pun sanggahan terbukti benar, pasti AFP akan mencopot foto tersebut karena tak sesuai standar professional.

Dari sisi proses pemotretan, saya membayangkan kepelikan mendekati narasumber, mendapatkan kepercayaan, minta izin memotret untuk publikasi, dan seterusnya. Bahwa foto yang terbit hanya tangan dan kibor, itu adalah hasil maksimum.

Kalau cuma tangan dan kibor, kenapa tak membuat foto ilustrasi saja? Soal pilihan. Bagi agensi foto berita sekelas AFP, kalau cuma foto ilustrasi tangan entah siapa dan kibor tentu tak menantang. Kalau cuma foto tangan entah siapa untuk ilustrasi bagi topik apa saja, di mana proses jurnalistiknya? Ini seperti memotret jari perempuan sedang mengoleskan lipstik ke bibir untuk ilustrasi reportase prostitusi maupun kenaikan pajak kosmetik. Bank foto freemium punya.

Arsip foto jari peretas dan kibor komputer karya AFP di Kompas.id

Maka saya menengok laman khazanah AFP. Saya temukan enam belas jepretan Asfouri seputar peretas di Cina. Kapsi untuk foto yang kemudian secara legal dipakai oleh Kompas.id adalah:

This photo taken on August 4, 2020 shows Prince, a member of the hacking group Red Hacker Alliance who refused to give his real name, using his computer at their office in Dongguan, China’s southern Guangdong province. From a small, dingy office tucked away in industrial city in southern China, one of China’s last “volunteer hacker” groups maintains a final outpost in its patriotic hacking war.

Lalu apa pokok soal yang saya tulis ini? Bukan fotografi melainkan etika. Setiap bidang pekerjaan memiliki standar profesi dan pedoman etika, setidaknya standar perilaku pelakunya. Pemilik sekaligus montir bengkel sepeda tidak patut mengatakan bahwa rantai sudah disetel padahal tidak dikerjakan. Penjual makanan di Gofood tidak bisa semaunya mengganti lauk soto dengan hanya lima kerupuk karena tempe goreng dan sate hati ayam habis.

Jika menyangkut pekerjaan terlembagakan, misalnya media dan kantor berita serta agensi foto, etikanya tertulis. Untuk bengkel dan warung soto perorangan tidak perlu, namun nilai-nilai tersebut melekat pada diri pelaku.

Kembali ke soal foto, saya teringat foto sampul Newsweek pada awal 1990-an tentang Afghanistan. Sampul berupa foto siluet senapan Kalashnikov AK-47 dan kubah masjid dalam warna jingga senja. Dalam kredit foto di halaman dalam disebutkan bahwa gambar sampul adalah hasil penggabungan dua foto di komputer. Saya lupa apakah kedua foto tersebut hasil jepretan pewarta foto yang berbeda.

Maka marilah melompat ke hari ini: bagaimana dengan foto hasil AI generatif untuk jurnalistik? Setahu saya teknologi dan etika itu berjalan bersama. Para jurnalis paham itu.

Tinggalkan Balasan