Belakangan Kompas.id memuat berita dengan langgam FAQ atau tanya jawab tentang suatu topik aktual. Seperti halnya ringkasan berisi kronologi — dalam bahasa yang lebih singkat: ringkasan kronologis, memuat kata sifat — kemasan macam itu membantu pembaca mengenali peta masalah.
Saya dahulu pernah lebih dari sekali menulis berita kronologis maupun tanya jawab, di sebuah media daring, kadang disertai infografik dan penulisan teks, yang saya buat sendiri. Kemudian saya menganggap tulisan tanya jawab seperti materi latihan ulangan umum. Berguna namun kurang menarik. Antara penting dan tak penting. Penulisannya butuh waktu karena harus riset arsip.
Soal penting dan tak penting bagi pembaca Kompas.id itu entahlah. Bagi saya ada satu hal yang akan lebih baik jika judulnya lebih memikat. Misalnya “T&J: 5 hal tentang Ransomware” dan “T&J: 7 Poin Dokumen Palsu Terobos Zonasi PPDB Jabar”. Urusan selanjutnya tinggal memainkan intro atau ringkasan.
Saran saya akan dianggap sotoy itu pasti. Oleh siapa pun. Namun sebenarnya ada hal yang lebih wigati: seberapa jauh pembaca butuh karena AI macam ChatGPT dapat memberikan T&J dalam bahasa Indonesia. Sebagai robot yang terus belajar, jawaban si mesin hari ini tentang kasus Vina Cirebon sudah akan diperbaiki pekan depan, seiring perkembangan berita. Demikian pula jawaban AI tentang Harun Masiku.
Lantas bijimana? Inilah komedi pahit: wartawan menulis sesuai kaidah, dalam bahasa yang tertata, untuk asupan bagi AI. Bahkan jika berita ditulis dalam bahasa yang buruk pun AI dapat memahani. Pembaca cukup memanfaatkan AI, bukan mengakses media berita.
Jangan terburu-buru menyalahkan produk platform AI karena jika menyangkut teks ada disklaimer: ChatGPT can make mistakes. Sumber kesalahan ya dari asupan, antara lain media berita.
Wikipedia tidak merekomendasikan dirinya menjadi rujukan karya ilmiah, pembaca dipersilakan membaca rujukan yang ada dalam catatan kaki. ChatGPT sejauh saya tahu tak pernah menyebutkan rujukan. Bukannya tidak bisa, tetapi jika hal itu dilakukan akan mengakibatkan teks jadi tambun, kecuali ada opsi bagi pengguna untuk menyembunyikan.
Semua gerundelan orang media terhadap nasib bisnisnya, dan peran sosial dirinya, tentu dari kacamata sepihak. Padahal bagi konsumen media berita, boleh jadi persoalannya lebih simpel: mana yang mudah diakses dan menyenangkan, kalau bisa gratis. Orisinalitas dan kualitas konten, termasuk konten visual, ditambah riset atas nama jurnalisme data dan investigasi, itu cuma gaya kemaki jurnalistik. Konsumen nggak baca, ora pathèken (nggak rugi).
“Kerja media ke depan mungkin bukan lagi mengumpulkan data dan informasi karena informasi sudah terlalu banyak beredar, terutama dengan perkembangan AI sekarang,” kata Syed Nazakat, jurnalis dan pendiri perusahaan media DataLEADS dari India, dalam Konferensi Media Internasional, yang diselenggarakan East West Center, di Manila, Filipina, pekan ini (¬ Kompas.id).