Sejak TK, SD, SMA, bahkan sampai kuliah, dalam kelas saya duduk di atas kursi, bukan bangku karena memiliki sandaran punggung, dari kayu jati. Seingat saya, para murid dan mahasiswa tidak mengeluh.
Saat berkuliah di Jogja, saya naik bus kota yang kursinya keras tanpa bantalan. Di Jakarta setelah bekerja saya pernah naik MetroMini dari Palmerah ke Pulogadung, duduk di atas kursi keras, dan merasa tidak nyaman karena ditambahi faktor bus penuh, gerah, dan kemacetan lalu lintas.
Ingatan tentang kursi keras, sejak TK hingga MetroMini, dan tentu Kopaja, muncul saat saya menatap bangku yang diganjal bantal. Pasti ini soal kenyamanan bokong.
Apakah makin tua seseorang, apalagi sudah lansia, makin tak tahan duduk di alas keras? Padahal belasan tahun saat bocah hingga muda dewasa menduduki kursi kayu di sekolah? Mungkin. Bisa jadi massa otot sudah susut, bokong menjadi tepos, tulang tak lagi kuat, dan sebagainya.
Pantat butuh ganjal empuk mengingatkan saya kepada teman kuliah yang hendak menjalani operasi wasir empat tahun silam. Saya sarankan dia memulai bantal ambeien. Ya, seperti yang saya lakukan saat kuliah, di kamar saya memasang bantal khusus untuk kursi dari kayu di depan meja belajar.
Bantalnya dibelikan saudara saya dari rumah sakit, berbahan karet mirip ban dalam sepeda motor namun pipih, warnanya merah, dengan pentil biasa. Ketika ban mengalami bocor halus, sarungnya saya copot, isinya saya bawa ke tukang tambal ban. Apakah saya dulu menderita wasir (KBBI: bawasir)? Tidak. Hingga kini. Tetapi saya nyaman sekali pakai ganjal itu.
Sebenarnya sering duduk di atas kursi maupun bangku keras pada usia pralansia itu bukan soal asalkan diimbangi banyak jalan kaki. Apakah bakal terhindar dari wasir? Dokter yang lebih tahu karena penyebab hemoroid itu bukan cuma kursi dan bangku.