Saya terlambat menyadari bahwa sekarang, mungkin malah sudah lama, ada alas makan dari plastik yang mirip anyaman lidi. Saya sadar ketika mendapatkan kiriman makanan. Ketika alas makanan saya pegang, telapak tangan saya merasakan permukaan halus rata berlubang pada bagian bawah alas.
Oh, alas makanan hijau itu ternyata bukan anyaman lidi melainkan plastik. Pasti, plastik lebih awet. Mudah dicuci dan dikeringkan. Tetapi ketika menjadi sampah, tatakan plastik sulit teruraikan oleh alam.
Dari sisi harga, alas plastik mirip anyaman ini murah, per buah Rp1.500 — Rp2.000. Sedangkan alas makanan dari anyaman lidi Rp2.300 ke atas. Karena di rumah juga ada alas buah kiriman dari rotan tanpa kulit, maka saya cek harganya di lokapasar, ternyata harganya Rp6.000 ke atas untuk yang agak ceper mirip piring.
Kemudian saya mencari tahu harga piring plastik yang miyar miyur lentur, tetapi bukan yang sekali pakai. Warna-warni, ada yang selusin berharga Rp16.500. Artinya per buah Rp1.375. Cuma berselisih sedikit dari yang mirip anyaman.
Kalau harga plastik mirip anyaman berselisih sedikit, atau mungkin ada yang sama harga, dengan piring plastik, kenapa tak membeli yang piring plastik biasa? Soal alas atas, bisa kertas cokelat berlilin, bisa daun pisang, sama-sama dapat ditumpangkan pada wadah, bukan?
Saya tak tahu alasannya karena malas menanya orang dan penjual. Lebih menarik ini: sejak kapan sebenarnya alas makanan dari anyaman lidi ini bisa diterima luas? Kalau saya tak salah ingat mulai akhir 1990-an, dimulai oleh katering dan kedai bergaya eksotis. Tolong Anda koreksi jika saya salah.
Kini alas makanan dari lidi semakin lumrah dalam acara di rumah, asalkan suguhannya bukan yang berbanyak kuah.