Setelah sebulan puasa berita tertulis, hari ini saya mulai menonton video perbincangan di YouTube. Artinya berselisih 20 hari dari memulai membaca berita. Sebenarnya saya kurang telaten menyimak video obrolan lama, sehingga saya sering melakukan hal kurang bagus. Dalam hal apa?
Saya menyukai video yang ada transkripsinya. Saya lebih suka membaca teks sambil mendengarkan, sering kali yang saya baca sudah mblandhang, terlalu jauh meninggalkan kode waktu durasi video.
Ada bagusnya sih, kalau membaca hal yang mencurigakan atau membingungkan, saya akan mengeklik angka waktu. Maka tadi, saat menyimak obrolan Rhenald Kasali dengan Pendeta Gomar Gultom, saya langsung bercuriga karena mendapati teks “anak-anak Buddha untuk mencari keuntungan dan akhirnya pura-pura kaya dan kemudian menipu orang…”.
Saya tak percaya Rhenald, yang inklusif, bicara begitu, di depan Gultom, saat mendiskusikan alasan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) menolak tawaran pemerintah memberikan konsesi usaha pertambangan kepada ormas keagamaan.
Yah, generator ucapan ke teks dalam pelbagai bahasa masih dan akan terus belajar. Artikulasi setiap penutur berbeda, apalagi jika kualitas audio kurang bagus.
Dalam kasus Rhenald, audionya jelas, namun si robot mendengar “muda” sebagai “Buddha”. Misalnya pun Rhenald menyebut “Buddha”, untuk konteks tuturan lain, pasti akan mengatakan “Buddhis”.
2 Comments
Ada baiknya kita menghindari transkripsi otomatis jika merasa telinga masih berfungsi normal. Lagipula membaca rentetan kalimat tanpa koma dan titik itu sungguh sungguh tidak nyaman
๐๐๐Begitulah, apalagi ganti baris semaunya