Baru ancaman dari Menkominfo Budi Arie Setiadi. Jika X, yang sebelumnya bernama Twitter, tidak menutup konten dewasa, pemerintah akan mengeblok platform tersebut di Indonesia.
Muncul penentangan dari warganet. X tak hanya berisi konten cabul. Entahlah berapa persentase perbandingan konten biasa dan konten cabul berupa teks maupun gambar diam dan hidup. Makian yang menyebut genital pria dalam bahasa Indonesia termasuk cabul.
Persoalan konten dewasa, yang kita sederhanakan saja sebagai konten pornografis, menjadi rumit karena penetrasi internet terutama melalui ponsel. Siapa pun, termasuk anak bawah umur, dapat mengaksesya.
Mengakses itu kata kerja aktif. Ada kesadaran dan upaya untuk membaca, melihat, dan mendengar konten dewasa. Tetapi kenyataannya, konten apa pun dapat menyeruak ke dalam ponsel di luar kemauan pemiliknya.
Konten ponsel. Apa pun ada di dalamnya. Pada masa kanak-kanak generasi Menteri Budi (kelahiran 1969), konten erotis sudah ada, dengan rentang gradasi kecabulan sejauh utara dari Selatan, timur dari barat. Namun media pemuatnya tak mudah diakses setiap orang, dari buku, majalah bergambar, hingga film seluloid dan pita video. Saat itu belum ada ponsel pintar dan internet bergerak.
Persoalannya kini, jika menyangkut X setelah pemiliknya, Elon Musk, secara terbuka memberi ruang terhadap konten dewasa, apakah mengeblok pelantar itu adalah langkah bijak?
Tak adakah pendekatan lain, yang bisa melelahkan, dengan memanfaatkan posisi otoritatif pemerintah dan teknologi? Misalnya meminta X menutup akses Indonesia terhadap akun spesialis konten cabul seperti selama ini.
Memang selalu ada jalan memutar untuk menerobos pembatasan. Tetapi sebagai upaya tetap layak. Di luar itu ada hal yang tak mudah bagi setiap keluarga: peran orangtua dalam membatasi akses dan iklim domestik pendidikan seksual. Setiap keluarga itu autentik, di dalamnya ada sistem nilai dan literasi, termasuk literasi digital.
Selain terhadap X, Budi juga mengancam akan mengeblok Telegram. Padahal Telegram adalah pelantar perpesanan. Di dalamnya ada grup percakapan seperti di WhatsApp.
Secara teoretis, grup percakapan adalah ruang tertutup. Info apa pun dapat dibagikan dan dipertukarkan, termasuk info perjudian dan info serta konten visual pornografis. Serupa dengan milis yang tertutup, namun berbeda dari newsgroup yang terbuka pada awal penetrasi internet untuk publik.
Kembali ke isu pornografi, negeri-negeri yang sangat permisif pun sejak belum ada internet melarang orang dewasa menunjukkan konten cabul kepada anak-anak, atau membiarkan anak-anak dapat mengaksesnya. Konten erotis juga dilarang melibatkan anak-anak dan binatang (bestialitas).
Industri konten hiburan dewasa Amerika Serikat merujuk kode etik berdasarkan prinsip Free Speech Coalition (FSC), Restricted to Adults (RTA), dan Association of Sites Advocating Child Protection (ASACP).
Memang sih yang menjadi masalah adalah disrupsi industri hiburan: banyak konten berasal dari perorangan, bukan studio konvensional, yang menyusup ke aneka pelantar umum di luar pelantar khusus dewasa semacam Onlyfans. Di Indonesia misalnya VCS, dengan promosi terbuka via X, praktiknya di atas pelantar perpesanan, pembayarannya via mobile banking maupun e-wallet. Lintas platform. Bocoran konten dewasa juga sangat berpeluang menggapai anak-anak.
¬ Foto Budi Arie Setiadi: Tribunnews.com