Sudah empat setengah tahun Harun Masiku raib, hinggap ke Singapura, terhitung sejak 6 Januari 2020 menurut Ditjen Imigrasi Kemenkumham. Bahwa terkabarkan Harun sudah kembali ke Indonesia itu tidak penting. Bagi khalayak lebih utama kapan dia dicokok?
Apakah benar Harun, pengacara yang bekas kader Partai Demokrat lalu pindah ke PDIP, menyuap komisioner KPU, ah itu urusan pengadilan. Masalahnya, bagaimana Harun bisa diadili kalau dia sudah kabur tiga hari sebelum KPK menetapkannya sebagai tersangka.
Lalu kenapa KPK sulit menangkap si buron? Entah. Wahyu Setiawan, dulu komisioner KPU, yang menerima suap dari Harun, pun heran. Wahyu sudah selesai menjalani hukuman.
Negeri ini butuh sebuah situs arsip digital dinamis untuk publik, berisi daftar buron kasus korupsi, misalnya saja dengan pelantar Wiki. Di dalamnya ada penghitung real time waktu untuk durasi kemerdekaan si buron. Misalnya 1.000 hari, 5 jam, 17 menit, angkanya terus bertambah, dengan visualisasi menarik. Bisa dibayangkan “buronmeter” Edy Tansil yang kabur sejak 1996 sebagai napi Lapas Cipinang Jakarta.
Lalu siapa yang mengurus situs itu? Sebaiknya sipil, bukan negara. Harun bisa hengkang karena sistem informasi pencekalan dan pencegahan di loket imigrasi bandara tidak sinkron dengan server di bandara maupun kementerian.
Kabarnya, rekanan yang membuat sistem lalai menyetel status tes ke aktif. Padahal selama 23 Desember 2019 sampai dengan 10 Januari 2020 ada 120.661 data pelintasan yang tidak terkirim, salah satunya data Harun.
Kini kita berharap ada sayembara berhadiah untuk menangkap Harun. Jangan lupa melibatkan dukun.
3 Comments
Mungkin dia pakai formalin, sehingga awet jadi buron…
Oh bukan dilaminasi ya?
😂