Mencecap nostalgia dari es puter mung mung

Jajanan dulu lebih enak? Mungkin. Bisa saja rasanya sudah berubah. Atau lidah kita yang makin pintar karena terus menjelajah.

▒ Lama baca < 1 menit

Suara mung… mung… mung… itu sering saya dengar. Namun karena onomatope¹, di telinga orang lain bunyinya menjadi pung pung atau tung tung. Tak penting, yang pasti semua orang tahu itu bunyi canang² atau bende³ yang dipukul oleh penjaja es puter — jarang orang menyebut es putar.

Suara itu sering saya dengar. Namun saya mengabaikannya. Tadi tiba-tiba saya menginginkan es mung mung dan minta tolong istri memanggilkan. Dia geli, katanya kalau saya mulai nggragas itu pertanda kesehatan saya membaik. Apalagi saya sampai hari ini hanya doyan air putih dan ogah nasi.

Sebelum gerobak dorong berhenti di depan rumah saya membayangkan es puter dalam contong atau cone berbahan kue kering. Ternyata sekarang diganti gelas plastik. Anak-anak di Jateng dahulu ada yang menyebutnya “ès grim” dan “ès grém” , bukan es krim.

Saya memilih es puter lengkap dengan agar-agar dan potongan roti. Satu porsi Rp5.000. Rasanya? Biasa. Tapi kerinduan saya lumayan terobati. Saya sebut lumayan karena bukan es puter polos dalam contong yang bisa dimakan.

Soal rasa, jika menyangkut rasa masa lalu, kita menganggap dahulu apa pun lebih lezat. Es mung mung zaman saya bocah rasanya nikmat nian, tak setiap hari dapat menikmati.

Rasa pada waktu lampu lebih nikmat? Bisa benar bisa salah. Lidah kita bertumbuh, bukan dalam arti terus memanjang, mencicipi aneka rasa makanan dan minuman sehingga menjadi kritis.

Di sisi lain, jika menyangkut usia, kemampuan mencecap bisa berubah. Itulah sebabnya orang tua disebut rewel soal makanan dan minuman. Apalagi dalam blind test: tak tahu jenama kedai maupun siapa yang membuat.

¹) Onomatope: istilah linguistik, artinya kata tiruan bunyi yang diucapkan manusia, misalnya kukuruyuk dan kongkarongkong, dor! dor! dan bang! bang!.

²) Canang: gong kecil, dahulu biasa dipakai untuk memberi tanda dalam mengumumkan suatu hal; dari kata inilah muncul kata mencanangkan dan pencanangan.

³) Bende: bahasa Indonesia menyerapnya dari bahasa Jawa, yakni bendhé.

Ketika tidak ingin ya biasa saja; bahagia tidak, sedih apalagi

3 Comments

Junianto Rabu 12 Juni 2024 ~ 20.46 Reply

Di telinga saya, dan orang-orang di lingkungan saya, terdengar sebagai thong-thong (o-nya seperti dalam kata gentho).

Tapi yang lebih penting : Semoga Paman semakin sehat!

Pemilik Blog Kamis 13 Juni 2024 ~ 16.36 Reply

Oh ya betul, es thoong thoong 👍

Suwun untuk harapan Lik Jun. Saya merasa dari hari ke hari membaik 🙏

Tinggalkan Balasan