Saya kurang suka memakai sedotan, kecuali minum jus, atau es kopi dalam perjalanan. Memakai sedotan itu serasa ujung lidah tak mencecap dan kerongkongan tak mengerem jika minuman manis terlalu banyak: minum teh botol Sosro langsung habis, lalu ingin menambah lagi.
Ketika mendapatkan air dalam gelas plastik, sebisanya saya berusaha minum tanpa sedotan, misalnya dengan menyobek tutup. Namun sudah sebulan lebih saya minum dengan sedotan.
Padahal sebulan ini saya hanya ingin minum air putih. Tidak dingin tidak panas. Terpaksa memakai sedotan karena mulut saya masih menceng, saraf belum pulih dari sindrom Ramsay Hunt. Kalau tanpa sedotan, minuman akan tumpah dari mulut.
Lalu? Abaikan dulu masalah saya. Tadi saat melihat hasil jepretan terhadap cangkir saya, yang ada sedotannya, hasil memotong sedotan panjang, saya malah memikirkan soal kebahasaan. Soal cangkir dan gelas.
Cangkir adalah mangkuk kecil yang bertelinga, biasanya pendek, untuk wadah minuman. Sedangkan gelas adalah tempat minum berupa tabung kaca, umumnya meninggi, padahal ada gelas berupa tabung pendek, misalnya gelas wiski. Selain itu pula seloki, yakni gelas mini.
Bahasa Indonesia membedakan gelas dan kaca. Bahasa Inggris menyebut kaca itu glass, dan gelas beling juga glass. Kaca sangat mungkin kita serap dari bahasa Sansekerta, kāca. Lalu tempat minuman yang saya potret itu gelas atau cangkir?
Jawabannya mudah: cangkir kaca. Bukan cangkir gelas. Kalau toko, misalnya IKEA, dalam etalase menyebutnya “mug, clear glass“, lalu versi tokonya di Indonesia menyebutnya “mug, kaca bening”.
Waspadai serrrr di kepala apalagi disusul plenthing di telinga
2 Comments
Semoga segera pulih ya Mas. 🤲🏻🥰
🙏💐Suwun, Mbak Uril 💐