Rindu bersepeda namun terkendala kontrol di kepala

Saya temukan foto bulan April, tentang sepeda. Bagi saya foto ini penting: kapan saya bisa bersepeda lagi, cukup di sekitar rumah, untuk memperlancar peredaran darah?

Jawabannya mudah: setelah keseimbangan saya pulih. Nanti setelah berdiri apalagi berjalan tidak kejlungup maupun kejengkang, dan tidak jatuh ke samping kiri maupun kanan lagi. Butuh waktu.

Padahal untuk orang yang sudah bisa naik sepeda, bahkan sejak bocah, setelah tua pasti tetap bisa. Memang sih untuk orang tertentu kadang butuh adaptasi sebentar. Begitu pula untuk sepatu roda dan skateboard. Berenang juga. Naik egrang pun demikian. Intinya, sekali bisa akan tetap bisa.

Tubuh manusia bisa mengingat. Itu kuncinya. Otak dan saraf merekam kebisaan bersepeda yang dibangun dari latihan. Otot juga mengingat gerakan motorik. Namun pusat kendali ada di otak.

Ketika saat ini saraf nomor tujuh dan nomor sembilan saya mengalami kerusakan, sehingga selain jadi lumpuh separuh wajah dan keseimbangan menjadi limbung, sulit bagi saya untuk naik sepeda.

Sudah saya coba? Tidak perlu. Berdiri diam saja bisa seperti pohon kurus yang mentiyung digoyang angin dan beban apalagi ngepit. Bisa merepotkan orang lain dan membahayakan saya sendiri.

Mestinya saya menanya dokter apakah setelah sembuh total saya dapat bersalto sambil berpindah dari pucuk patok ke patok lain untuk atraksi barongsai.

Saya ingat, saat masih SD membaca lelucon di majalah anak Kawanku, seorang bocah yang patah tangannya menanya dokter apakah nanti dirinya bisa bermain biola. Dokter menjawab riang, “Tentu. Tentu!”

Si anak memuji, “Dokter memang hebat! Saya kan belum pernah belajar biola.”

Waspadai serrrr di kepala apalagi disusul plenthing di telinga