Apel dalam labirin waktu masa kanak-kanak

Masa kecil baby boomers Indonesia asing dengan buah apel, kecuali mereka di kota besar maupun sentra buah.

▒ Lama baca < 1 menit

Masa kecil baby boomers Indonesia asing dengan buah apel

Tinggal dua butir apel di atas piring berkaki itu. Mungkin karena kebiasaan, lagi pula sedang dalam kondisi tak dapat melakukan banyak hal, bahkan menyapu dan mencuci piring pun tidak, maka lamunan saya pun menyusuri labirin waktu. Boleh jadi ini ciri khas wong lawas. Selalu bicara lampau, bukan masa mendatang, seolah kehidupan tak beranjak.

Saya adalah penumpang gerbong belakang generasi baby boomers. Dengan catatan, gerbong terdepan diisi oleh mereka yang terlebih dahulu lahir. Pengalaman saya dengan apel berbeda dengan angkatan yang lebih muda.

Mulanya saya mengenal apel dalam gambar buku, komik, dan majalah luar negeri. Baru pada awal Orde Baru saya mencicipi apel, impor, oleh-oleh dari ibu saya sepulang dari acara di rumah orang terkemuka di Salatiga, Jateng. Wangi, manis agak asam, itulah kesan saya tentang apel.

Tiga tahun kemudian apel sudah dijual di Toko Gembira, Jalan Solo. Dua tahun berikutnya, saat berkemah Pramuka di Bandungan Sumowono, di atas Ambarawa, saya menyentuh apel hijau yang tergantung pada pohonnya di balik pagar sebuah vila. Saya memegang apel dari jalan. Tak ada niat memetik yang berarti mencuri.

Kini saya mencoba mengingat, buah apakah yang digambar teman-teman sebaya saya, dalam pelajaran menggambar sejak SD hingga SMP? Ada pisang, nanas, jeruk, salak, durian, kelapa, Rambutan, pepaya, dan entah apa lagi. Tetapi tak ada apel.

Mungkin apel kami anggap buah asing. Namun saya ingat ada yang menggambar buah anggur ungu, entah menyalin dari mana, mungkin dari label sirop atau bungkus rokok, padahal saat itu anggur lokal belum dikenal, dan toko buah tak menjual buah anggur. Kata anggur, tanpa buah, lebih bermakna minuman untuk kesehatan orang dewasa maupun perjamuan kudus.

2 Comments

Budi W. Jumat 7 Juni 2024 ~ 09.24 Reply

Kebetulan saat mudik beberapa pekan lalu saya menemukan di gudang, buku gambar saya sewaktu SD, di situ ada gambar buah-buahan di atas meja: mangga dan jambu air. Saya ingat kesulitan menggambar nanas karena meskipun sudah akrab dengan cangkriman “pitik walik saba kebon”, nanas tidak pernah ada di kebun orangtua, beda halnya dengan pepaya, mangga, pisang, jambu (malah jadi keinget lagunya Adikarso, hehe) yang tinggal dicontek dari halaman rumah ke halaman kertas.

Mengenai anggur, di tanah kosong sekitar SD saya dulu pernah ada pohon duwet (atau jamblang, Syzygium cuminii) yang besaarrr sekali. Teman-teman sepermainan waktu kecil kadang memanjatnya untuk memetik buahnya, sebagai ajang pembuktian mereka anak-anak pemberani, karena selain pohonnya sangat tinggi dan batangnya agak licin sehingga lebih susah dipanjat, letaknya persis di depan kuburan.

Belakangan ketika sudah mulai kenal buah anggur, kakak-kakak saya sering becandain saya, “Kamu sukanya anggur jawa ya, alias duwet.” Saya berkilah, “Kenapa kita nyebutnya nggak dibalik aja, anggur itu duwet londo?” Menurut saya pemadanan semacam itu sering tidak terlalu akurat, secara tekstur biji saja sudah beda banget, tapi kira-kira bisa dimengerti lah ya kenapa keduanya disandingkan: daging buahnya sama-sama ungu kemerahan, dan rasanya sama-sama ada unsur legi kecut. Mungkin sebelas duabelas sama guyonan apem itu pancake jawa, atau panekuk kalau istilah penerjemah buku-buku Lima Sekawan era ‘80an.

Pemilik Blog Jumat 7 Juni 2024 ~ 15.28 Reply

Papaya, mango, guava
Aha! Chacha!

Menggambar salak dan nanas (versi kartu kuartet dan buku pra-EYD: ananas) sulit karena tekstur kulitnya.

Soal dhuwet, anak yang nyolong buah itu, juga wuni, sulit berkelit karena lidahnya ungu. Pohon dan buni kadang banyak semutnya.

Anggur impor ungu kehitaman, yang nirbiji itu, bagi saya ya dhuwet Landa. Saya kurang suka. Lbh suka anggur biasa, terutama hijau.

Panekuk dari bahasa Belanda kan ya? Penerjemah Empat Sekawan bukannya bapaknya Mas Dirjen?

Tinggalkan Balasan