Saya temukan jepretan foto ketika saya hanya dapat berbaring di ranjang: tisu. Sekarang setelah saya lebih kuat, saya amati teks pada kemasan tisu Paseo. Tempo hari asal jepret saja karena saya tak dapat membaca dengan jelas, yang penting fokus fotonya dapat.
Ada teks dengan fon manis: Luxurious. Hmmm… konsumen perlu disugesti bahwa tisu yang mereka beli itu mewah. Lha di mana kemewahannya? Entah. Atau mungkin pada aroma ekaliptus, yang jika tisu diremas bisa untuk diendus-endus seperti saran produsen?
Luxurious. Eksklusif. Eksekutif. Premium. Special. Sering jadi atribut produk, termasuk beras. Intinya, sebuah produk melebihi kualitas biasa. Bahkan standar pun termasuk biasa, maka kamar standar hotel bisa tanpa jendela.
Lalu? Biasa, klaim diri produsen tentang produknya. Untuk menjelaskan premium, dalam kemasan tertera “dermatested for sensitive skin” — pada bagian lain bungkus tertulis “3x lebih lembut”. Benar tidaknya biarlah orang yang berkulit peka yang membuktikannya.
Selebihnya adalah klaim diri bahwa produknya ramah lingkungan. Perusahaan mendukung deforestasi nol. Pohon untuk bahan tisu ditebang dari hutan tanaman industri. Lebih dari itu, “Akan kami tanam kembali bibit baru untuk setiap pohon yang kami tebang.”
Benar tidaknya pernyataan produsen pasti ada lembaga yang mengaudit. Dalam kapital hijau tak cukup mendaku ini dan itu tanpa bukti.
Dari sisi konsumen, persoalannya adalah produk ramah lingkungan umumnya cenderung lebih mahal. Tetapi dalam pemasaran, yang namanya gaya hidup memang butuh biaya. Memilih pro-lingkungan termasuk gaya hidup kelas menengah.
Namun ada masalah lain, apakah mayoritas konsumen peduli klaim diri keunggulan sebuah produk? Itulah perlunya komunikasi pemasaran. Tak cukup memasang teks dalam bungkus.
¬ Bukan tulisan berbayar maupun titipan