Di rumah sakit tempat saya berobat selalu ada koran untuk umum. Bukan ditempelkan di dinding tetapi digantungkan pada beberapa tempat khusus. Dahulu koran dibaca di tempat itu lumrah, di lobi hotel juga, kadang korannya dijilid dengan stik. Pada hotel berbintang empat ke atas, dahulu setiap kamar beroleh koran pagi.
Koran Kompas ini saya foto pada kunjungan kedua, Senin 13 Mei 2024. Tentu saya tak membacanya, hanya memegang koran untuk saya foto. Saya tak membacanya karena memang belum kuat membaca dan kebetulan sedang berpuasa berita.
Pada kunjungan sebelumnya saya hanya tahu ada koran, tetapi saya, misalnya pun memegang ponsel, tak mampu memotretnya.
Pada kunjungan kedua saya bisa memotretnya karena saat menunggu penebusan resep saya memilih duduk di sebelah tempat koran. Lalu saya meminta istri mengambilkan ponsel dari tasnya. Bermula dari memotret dari samping, akhirnya keterusan…
Saat akan meninggalkan tempat saya sempatkan mencari siapa yang membaca koran. Akhirnya terlihat. Istri dan putri yang menuntun saya terpaksa menuruti rasa ingin tahu saya. Maafkan suami dan bapakmu ya…
Ternyata ada yang membaca koran padahal semua orang menatap layar ponsel masing-masing. Pada kunjungan pertama, saya lihat seorang anak balita menjadikan koran itu sebagai mainan di lantai sampai kemudian seorang bapak menegurnya, bukan menegur ibunya yang membiarkan perilaku anaknya.
Sebelum era ponsel cerdas, di setiap rumah sakit, setidaknya di depannya, ada penjual koran, tabloid, dan majalah plus buku TTS. Pengantar dan penunggu pasien butuh bacaan. Pasien kadang juga butuh bacaan, padahal dalam ruang rawat ada TV.
Medio 2013, ketika Android dan iPhone makin bertambah pemiliknya, dan BlackBerry masih berjaya, maka Johnny, pemuda Nias penjual koran dan majalah di seberang RS Gandaria, Jaksel, menutup lapaknya karena pembeli berkurang.
Akhirnya dia saya temukan di Pasar Mayestik, bersaing dengan pelapak majalah baru maupun lama tentang kebaya. Di Mayestik banyak penjual kain halus dan penjahit kebaya.