Anda pernah ikut simulasi gempa, tsunami, dan kebakaran?

Kesiapan warga dalam bencana dan regu penolong bersifat resiprokal. Tetapi dari 100 orang entahlah berapa banyak yang pernah ikut simulasi kebakaran sampai gempa.

▒ Lama baca 2 menit

Simulasi mitigasi gempa di sebuah SD di Jakarta

Foto ini menarik. Maksud saya tetap menarik, justru karena berita simulasi mitigasi gempa bumi di sekolah bukan hal baru. Dahulu kita hanya melihatnya dari foto di sekolah Jepang.

Tentang bencana, di Aceh ada simulasi dan jalur evakuasi jika terjadi gempa dan tsunami. Di Palu, Sulteng, sebelum ada gempa dan tsunami pada 2017 sudah ada jalur evakuasi dan pernah ada simulasi.

Kapsi foto berita koran Kompas hari ini (26/4/2024):

“Para siswa berlindung di bawah meja saat mengikuti simulasi mitigasi bencana di SMP Negeri 104, Jakarta Selatan, Kamis (25/4/2024). Badan Penanggulangan Bencana Daerah DKI Jakarta mengadakan simulasi mitigasi bencana di sekolah untuk menyambut Hari Kesiapsiagaan Bencana Nasional yang diperingati setiap tanggal 26 April.”

Saya tadi menyebut menarik. Alasan saya sebenarnya karena saya belum pernah mengikuti simulasi gempa — apalagi tsunami. Tak ada yang mengajak saya. Sejak saya kecil hingga tuwèk.

Kalau pelatihan kebakaran? Kantor saya dahulu pernah mengadakan simulasi untuk karyawan. Sayang saya tidak bisa ikut karena berhalangan masuk kerja. Pelatihan menghadapi kebakaran itu penting karena dari sisi peluang kejadian lebih banyak kebakaran daripada gempa apalagi tsunami. Kalau banjir lebih sering lagi.

Saya tidak tahu jika misalnya saya berkantor di ruko yang semua kusen pintu jendela dan terali dari logam, begitu pun pintu gerbang dari besi, sehingga panas jika dipegang, sementara orang di dalam terkurung. Kasus tujuh penghuni sanggar bingkai di Mampang Prapatan, Jaksel, pekan lalu yang kesemuanya tewas terpanggang, adalah contoh menyedihkan.

Sekira dua puluh tahun silam, kantor saya dan mitra kerja kami, sebuah biro kehumasan, kehilangan sebuah keluarga muda empat jiwa — ayah, ibu, dua anak — karena mereka tewas terpanggang di rumah. Semua jendela rumah yang mereka kontrak di dekat TMII itu berjeruji besi, pintu gerbang dan pintu utama tak dapat dimasuki orang luar, sehingga tetangga tak dapat menolong saat kebakaran. Keluarga tersebut mengontrak rumah tak jauh dari tempat tinggalnya yang sedang direnovasi.

Nama domain keluarga itu barusan saya cek belum ada yang memilikinya lagi. Mereka dahulu, dengan dukungan sebuah perusahaan teknologi komputer global di Indonesia, menjadi model keluarga modern dalam memanfaatkan internet. Blog adalah salah satunya.

Kembali ke soal mitigasi, saya berpengandaian bahwa dalam penyelamatan darurat berlangsung situasi kondisi resiprokal pihak penolong dan korban.

Lalu bagaimana jika pertolongan dan penyelamatan bukan dalam bencana melainkan, misalnya saja, dalam penyanderaan di dalam bangunan, kapal laut, dan kapal udara, bahkan gua, padahal sandera menjadi perisai hidup?

Pasukan antiteror punya jawaban karena mereka senantiasa berlatih. Tak ada prajurit terlatih, yang ada hanyalah prajurit yang selalu berlatih. Demikianlah kredo pasukan komando.

Meskipun demikian saya ngeri membayangkan proses komunikasi kilat darurat antara tim penyelamat dan sandera, dalam pendadakan saat pasukan masuk, padahal sanderanya beragam kebangsaan dan bahasa.

Pemilahan sasaran bidik bukanlah hal mudah, apalagi dalam ruang gelap maupun tabir asap. Memang sih dalam kegelapan pasukan bisa terbantu kacamata khusus. Di sinilah kehebatan satuan penanggulangan terror: tanggap gelagat.

Soal pemilahan sandera dan penyandera tentu tak sesimpel ketika sekelompok personel pasukan khusus — bukan karena tugas — menyerbu sebuah penjara dan memerintahkan 31 penghuni sebuah sel memisahkan diri dari empat tahanan lain yang menjadi target balas dendam. Peluru menuntaskan seleksi sasaran. Empat nyawa melayang. Peristiwa terjadi di Sleman, DIY, 2013.

2 Comments

Enny Sabtu 27 April 2024 ~ 07.02 Reply

Saya pernah ikut simulasi kebakaran di kantor…pas saya di lantai 11. Dan tidak tahu kalau itu simulasi…nyaris saya ditabrak para pria yang turun tangga cepat-cepat…risiko kecelakaan tinggi, harusnya tidak berlarian.

Saat gempa, pernah lagi di lantai 19, goncangan sedemikian kuat, boro-boro untuk turun ke bawah, berjalan saja mau jatuh….akhirnya pasrah dan sembunyi di bawah meja.

Pas di kantor teman ada gempa, kami sebetulnya nggak ingin turun karena jika gempa turun tangga lebih berbahaya. Tapi satpam menggedor agar kami segera turun. Kami turun pelan-pelan, tangganya sempit, karena pasrah malah tidak ada yang berlarian. Kami turun berpegangan dinding sambil berdoa sesuai agama masing2.

Pemilik Blog Sabtu 27 April 2024 ~ 07.10 Reply

Oh cerita yang mengesankan dan mencerahkan, Bu Enny. 🙏😇

Saya pernah berkantor di gedung empat lantai, bukan ruko, pendek untuk ukuran Jakarta Pusat, ketika terjadi gempa saya mencoba tidak panik, keluar paling belakangan supaya tidak berdesakan di tangga.

Kalau misalnya terjadi situasi darurat dalam pesawat saya akan menuruti arahan awak kabin.

Tinggalkan Balasan