Saya temukan foto berita dari koran Kompas ini saat mencari arsip berita pekan lalu. Bagi saya foto ini menarik karena menyangkut pelibatan bambu dalam menguruk rawa untuk pembangunan jalan tol Semarang-Demak, Jateng. Saya pun teringat pos lama saya tentang bambu yang menyematkan video dari South China Morning Post tentang pelibatan bambu dalam pembangunan gedung (¬ Perancah atawa steger alias bè’i). Foto pembangunan jalan tol tersebut menjadi bagian dari sejarah, di luar arsip kontraktor dan Kementerian PUPR, karena dihasilkan oleh media berita.
Kita makin terbiasa dengan foto dan video aerial di media berita maupun media sosial. Iklan versi terbaru drone, misalnya dari Dji, sering muncul di YouTube. Versi mutakhir terintegrasi dalam sistem pemantaun termal, berguna untuk dunia industrial (termasuk kebakaran pada kilang minyak) dan kebencanaan vulkanik. Sebelum era drone, foto dari udara hanya dimungkinkan dari helikopter, kapal terbang , dan dari satelit untuk jarak dari ketinggian nan jauh.
Nah, perihal foto udara untuk pekerjaan jurnalistik saya merasakan ketimpangan. Merasakan dalam batasan hanya berdasarkan melihat foto dari drone yang dihasilkan oleh media berita. Tak semua media melakukannya. Tentu ini bukan sekadar soal teknis, salah satunya sertifikasi pilot, tetapi soal lain yakni kemampuan finansial redaksi.
Rasanya tak adil, media dari luar daerah bisa memiliki sekian foto udara dari aneka spot di suatu daerah padahal media lokal tidak — namun bisa saja foto dari drone ada di sejumlah akun personal di media sosial. Oh, bukannya ketimpangan adalah isu abadi dalam bisnis berita? Hmmm… embuh.
Kini dalam kegamangan kelangsungan hidup media berita daring yang terlembagakan, soal ketimpangan mungkin hanya menarik sebagai percakapan internal padat gerutu. Jangan mudah mencemooh bahwa harga kamera drone termurah cuma Rp4 jutaan, lebih murah dari ponsel kelas tengah. Buktinya saya juga tidak punya drone.