Dua pekan terakhir, di tengah galau publik menantikan putusan Mahkamah Konstitusi terhadap sengketa Pilpres 2024, ada topik penting nan terselip. Bukan peristiwa melainkan opini. Tentang etika di kalangan dosen. Intinya kuantitas keluaran, berupa karya ilmiah, lebih penting daripada kualitas. Menghalalkan segala cara jadi opsi demi tujuan, yakni kepangkatan dan imbalan.
Iswandi menulis, “… banyak jurnal internasional terindeks Scopus yang masuk dalam daftar predatory journal. Jurnal berbayar, tanpa proses blind peer review yang baik, artikel dapat dengan cepat dan mudah langsung terbit.”
Bagi saya menarik, karena artikel Iswandi Syahputra, guru besar UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, “Efek Kobra Publikasi Ilmiah”, di Kompas (17/4/2024) itu ditanggapi oleh seorang pembaca. Surat Djoko Madurianto Sunarto bertajuk “‘Ghost Writer’ Publikasi Ilmiah” (22/4/2024).
Bukan isu baru, jadi nggak usah dibahas?
Efek kobra di perguruan tinggi bukan isu baru. The Conversation Indonesia pada 2018 memuat opini Rizqy Amelia Zein, dosen Universitas Airlangga, Surabaya. Rizqy menyoroti publikasi ganda dan self-citation atau penyitiran terhadap karya sendiri.
Setelah artikel Iswandi muncul artikel lain, misalnya tulisan Ali Roziqin, dosen Universitas Muhammadiyah, Malang, Jatim: “Etika Publikasi Dosen dan Peneliti” (23/4/2024).
Menurut Ali, “Tuntutan yang dibebankan pada dosen atau peneliti di Indonesia mestinya tidak menjadi beban tersendiri dan menjadi faktor utama praktik nonetis dunia akademik di Indonesia. Tuntutan itu semestinya menjadi motivasi bagi peneliti dan dosen untuk meningkatkan daya saing dan kompetensinya dalam kancah publikasi ilmiah, lebih-lebih pada level internasional.”
Artikel yang terbaru hari ini (24/4/2024), masih seputar perguruan tinggi, adalah tulisan Djwantoro Hardjito, rektor Universitas Kristen Petra, Surabaya, Jatim, “Salah Kaprah Gelar Profesor“.
Djwantoro mengingatkan, “Satu hal yang sering dilupakan adalah profesor atau guru besar merupakan jabatan akademik, bukan gelar akademik. Gelar akademik, entah itu sarjana, magister, atau doktor, umumnya bersifat permanen, melekat pada pribadi yang memperolehnya. Beda halnya dengan jabatan, sifatnya tidak permanen, sebaliknya memiliki batas waktu.”
Baiklah silakan cari sendiri artikel lainnya. Tak hanya dari Kompas.
Media berita dan isu elitis
Ada tiga hal yang lebih menggelitik saya dalam perkara efek kobra. Pertama: apakah konten media berita umum dengan topik tadi menarik bagi publik? Saya berpengandaian, pada era masa jaya koran saja isu seputar etika di perguruan tinggi tidak menarik, apalagi hari ini. Isu macam itu bagi saya berkesan elitis.
Kedua: apakah kalangan perguruan tinggi, dari mahasiswa sampai profesor, peduli dengan isu etika dalam dunia pendidikan yang diangkat oleh media berita? Misalnya investigasi Kompas tentang dunia perjokian karya ilmiah, termasuk disertasi dan artikel jurnal ? Sila tengok arsip blog ini: “Gelar akademis itu penting, cara memperolehnya juga“.
Ketiga: apakah secara umum dunia pendidikan, sejak guru PAUD, lalu murid sampai guru dan mahaguru tingkat di atasnya, selalu peduli dengan isu etika dalam berita? Saya bertanya tanpa berani menjawab karena saya bukan guru apalagi guru besar, bahkan saya sejak dulu hanya menjadi calon sarjana, suatu hal yang bagi saya bukan aib sekaligus bukan prestasi.
Air Mata Guru
Pada 2011 saya menyebut kasus Air Mata Guru saat menulis catatan tentang Siami, seorang ibu rumah tangga di Surabaya, yang melaporkan kecurangan pengawas ujian nasional SD tempat anaknya bersekolah. Lihat arsip “Koreksi itu Bernama Siami“. Lalu Air Mata Guru, yang menjadi komunitas, itu apa? Sila cari di mesin pencari. Salah satu hasil dari Tribunnews 2012.
Tentu dunia pendidikan tak berisi hal muram melulu, bukan cuma berisi SMA yang mengutamakan semua murid lolos seleksi perguruan tinggi negeri dan mengabaikan nilai-nilai karena ada SMA yang membiarkan parkir mobil murid menghalangi jalan warga sekitar. Tetapi di Jakarta saya pernah tahu ada SMA yang mewajibkan murid dan orangtua menandatangani pakta integritas, antara lain murid bersedia dikeluarkan jika terbukti menyontek dan melakukan plagiarisme.
Di SMA yang bukan hanya baju seragamnya dari sekolah, karena kaus kaki dan sepatu juga, itu tak ada larangan murid diantarkan mobil mewah tetapi murid dilarang membawa mobil sendiri bahkan misalnya memarkir di gedung tetangga sekolah yang pelatarannya luas. Di sana, saat itu, tak ada pelajaran (pengetahuan) keagamaan, melainkan religiositas, bisa diterima semua agama yang dianut keluarga murid.
Mengulangi paragraf sebelum paragraf di atas, tentu dunia pendidikan tak berisi hal muram melulu. Buktinya hari-hari lalu banyak dosen perguruan tinggi menyatakan keprihatinan terhadap penegakan etika di negeri ini. Tentang apa? Anda tahulah. Kalau saya sebut, nanti saya tak dibilang tidak move on.