Tadi pagi saya lihat foto berita di Kompas tentang pembatasan pembelian gula. Bunyi kapsi foto:
Papan pemberitahuan tentang pembatasan pembelian gula pasir terpampang pada etalase di supermarket ritel modern di kawasan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Minggu (21/4/2024). Pembatasan ini untuk mencegah adanya aksi borong gula oleh warga.
Bukan berita baru sih. Coba Anda cari berita sejenis di mesin pencari, ada sepanjang 2023 dan sebelumnya, dari media yang berbeda.
Kita masih mengimpor gula, terutama mentah, untuk dijadikan gula rafinasi bagi industri maupun gula pasir untuk konsumsi. Ya, antara lain konsumsi rumah tangga dan warung untuk minuman. Soal bahayanya bagi kesehatan sudah jelas, yaitu diabetes. Namun cukai untuk minuman berpemanis dalam kemasan belum dijalankan.
Untuk impor gula selama 2017—2023, dan dari negeri mana saja, sila tengok data BPS. Di luar urusan kesehatan adalah soal keuangan. Bahaya mengintai, kata Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi (¬ CNBC Indonesia, Desember 2023).
Tentang ketergantungan kepada minuman dan makanan manis, penyukanya berdalih, “Hidup udah pahit, masa sih nggak boleh manis?”
Hmmm… banyak gula nggak boleh, banyak garam nggak boleh. Ya banyak senyum saja.
2 Comments
Sukurlah ketergantungan pada gula makin berkurang…kecuali pas puasa Ramadhan kemarin. Anakku di Jepang bahkan hanya beli gula saat ibunya datang menengok, sehari-hari sudah tidak minum manis.
Secara naluriah manusiawi suka rasa manis. Dahulu rasa manis lebih diperoleh dari buah. Bahkan rendaman kayu manis pun, sesuai namanya, memang terasa manis.
Ada pendapat, sebagian orang Jawa menyukai makanan fan terutama minuman manis setelah era tanam paksa pada zaman kolonial, karena ada gula pasir sebagai hasil tebu, tanaman yang berasal dari luar. Eh, tapi kan masyarakat sudah membuat gula kelapa sejak dulu.
Di desa sampai 1970-an masih lumrah orang minum teh krampul sambil menggigit gula Jawa 😇