Belajar menjadi pendengar tanpa menyanggah itu baik. Maksud saya jika situasi, kondisi, toleransi, pandangan, dan jangkauan sedang pas. Misalnya Januari lalu, saya menyimak tuturan sopir taksi daring.
Bukan saya yang memulai topik tetapi dia. Akhirnya dia bilang, “Yang penting bagi rakyat itu pemimpin yang bikin kita tetep bisa makan, Pak. Kalo nurutin omongan orang sekolahan soal pilpres, hak asasi, dan demokrasi di medsos malah pusing, Pak.”
Saya teringat ucapan dia saat kemarin menemukan buku tipis, Demokrasi dan Kekecewaan, (Goenawan Mohamad, 2009). Kemarin itu saya sedang mencari buku tipis abad lalu, tetapi hingga kini belum ketemu. Eh, malah ketemu buku itu, sehari sebelum Mahkamah Konstitusi memutus sengketa hasil Pilpres 2024.
Buku ini berisi pidato GM, Demokrasi dan Disilusi, dalam Nurcolish Madjid Memorial Lecture di Jakarta, 2009, dan sejumlah tanggapan, antara lain dari Rocky Gerung dan William Liddle. Kemudian GM menanggapi penanggap.
Tidak, tidak. Saya tidak sedang membahas buku. Lalu saya teringat ucapan seorang tukang bangunan kepada temannya, “Buat kita wong cilik, omongan ndakik-ndakik itu halah, ora penting, Kang. ”
Juga sebelum pemilu kemarin, seorang pensiunan guru SMP menasihati saya, “Pakai akal sehat saja, Dik. Milih yang bisa mimpin dan kerja buat rakyat. Jangan dengerin semua teori muluk-muluk soal demokrasi.”
Saya tak tahu siapa pemimpin yang dia maksud. Ketika saya tanya, dia menjawab, “Masa sih nggak bisa nebak?”
Saya tak bertanya lagi. Karena yang memulai topik bukan saya.
Ketika menyimak obrolan bapak-bapak muda dan pemuda lajang, satu hal yang saya tangkap adalah mereka sebal dengan aneka hal yang menurut mereka cuma teori nggak jelas.
“Gitu kan, Oom?” tanya salah seorang. Saya hanya tersenyum. Sejak awal saya pasif.
Warna tuturan serupa juga menguar salam obrolan saat bersua kawan semasa muda beda almamater.
“Santai waé, Dab. Awaké dhéwé wis tuwèk, rasah mikir sing serius abot,” seorang kawan menasihati saya yang sejak awal tak membahas pemilu.
2 Comments
soal pemilu dan politik Indonesia, saya juga sudah halah saja, paman..
Inilah Republik Halah.
Maka saya pernah ingatkan beberapa orang jangan terlalu baper karena para politikus beda kubu kalo ketemu hahahehe akrab. Di Senayan, apalagi satu komisi, mengejar kompak, nengok temen sakit, jagong temen punya gawe, padahal beda kubu.
Para analis politik juga gitu. Merekam akrab, ladang saling ledek akrab, padahal di medsos saling serang.