Pertanyaan dalam judul itu memang membutuhkan jawaban, bukan judul pemancing yang seolah memberikan solusi supaya Anda baca. Saya bertanya karena melihat foto berita Presiden Jokowi bertolak ke Gorontalo dari Lanud Halim Perdanakusuma, Jaktim (Ahad, 21/4/2024).
Di sini saya tak membahas sidang Mahkamah Konstitusi yang hari ini (Senin, 22/4/2024) akan memutuskan sengketa Pilpres 2024. Saya hanya penasaran bagaimana mestinya bahasa tubuh tentara dan polisi, saat dalam posisi tak menuntut sikap sempurna, di depan presiden, apalagi presiden adalah panglima tertinggi. Siapa pun presidennya.
Untuk warga sipil di depan presiden memang berbeda, tergantung siapa presidennya. Jokowi termasuk presiden yang merepotkan Paswalpres karena dia ingin leluasa dalam batas tertentu. Jadi kalau ada orang berdiri dengan tangan di belakang mungkin boleh asalkan jelas dia siapa.
Pada era Soeharto, apalagi di zaman penanggung jawab keamanan negara di pundak Benny Moerdani, wartawan yang jauh dari presiden dilarang menaruh tangan di belakang. Setiap menteri saat itu harus melalui detektor, bisa berulang kali.
Dengan protokol keamanan dan etiket ketat era Soeharto, foto ikonis Kompas, Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Michel Camdessus bersedekap menyaksikan Presiden Soeharto menandatangani nota kesepakatan bantuan, menjadi menarik. Waktu itu saya menganggap Soeharto menandatangani surat kapitulasi, tinggal menunggu hari kejatuhan.
Banyak kalangan, bahkan penentang Soeharto, kurang sreg dengan bahasa tubuh Camdessus. Di kemudian hari dia menjelaskan, hal itu dilakukan karena sesuai ajaran ibunya, kalau tak tahu apa yang harus dilakukan, bersedekaplah.
Pertanyaan saya, jika menyangkut militer dan polisi, tak adakah opsi selain ngapurancang? Saya tak tahu padanan ngapurancang dalam bahasa Indonesia. Kata dalam bahasa Jawa itu berarti meletakkan kedua telapak tangan di depan perut.
¬ Pemutakhiran (22/4/2024, 19.12), foto untuk perbandingan dari berita luar negeri Kompas.id pukul 17.33
5 Comments
benar juga ya. sepertinya ngapurancang memang sikap yang “aman”, ya?
Aman bagi petugas keamanan. Setiap perubahan gerak terlihat, apalagi sudah diperiksa tak membawa benda yang bisa membahayakan presiden.
Sudomo pernah nekat menanya Pak Harto, apakah ingat nasib Presiden Korsel Park Chung Hee yang ditembak oleh kepala badan intelijen nasional, setelah makan bersama-sama. Dalam buku biografi Benny Moerdani, Sudomo bilang kepada Julius Pour, enulisanya, bahwa Pak Harto kaget.
Halah, kalau presidennya yang itu….
Lho….
Ben.