Saya menahan tawa saat membaca berita perkelahian sejumlah personel Brimob Polri dan personel TNI AL di Sorong, Papua Barat, kemarin (Ahad, 14/4/2024). Bentrokan itu tidak lucu, tak patut ditiru, namun yang membuat saya tergeli-geli adalah cara media memberitakan. Masih ada yang menggunakan kata “oknum”. Di sisi lain ada yang memakai kata “anggota” maupun “personel”.
Sejak dahulu, bahkan sebelum sempat bekerja di media, saya tak cocok dengan penggunaan istilah “oknum” dalam berita. Kesan saya ada kecenderungan korps — tak hanya militer dan polisi — untuk melepaskan diri dari perilaku anggota. Bahkan dunia pendidikan pun lebih suka istilah “oknum guru” saat terjadi kekerasan (seksual) terhadap murid. Tak beda dari ormas yang ketika beberapa anggotanya memalak toko ingin diberitakan “oknum Pemuda Garang”.
Kalau seseorang atau beberapa orang berperilaku buruk, bahkan dengan atribut korps, atau sedang bertugas, juga dengan menyebut nama organisasi atau lembaga, hal itu adalah penyimpangan dari standar nilai komunal. Artinya bukan representasi korps, sehingga harus disebut “oknum”.
Penyebutan “seorang anggota” maupun “lima personel” akan dianggap menggeneralisasikan seluruh isi himpunan. Keterangan numeral dalam isi tuturan, bukan judul, diabaikan.
Memang sih, atas nama ekonomi kata bahasa jurnalistik Indonesia sering menyingkirkan penyebutan jumlah dalam judul. Ini serupa percakapan lisan dalam keseharian: “Tadi ada Menwa nonjok BEM.” Namun dalam keseharian orang-orang paham itu belum tentu konflik antarkorps.
Dalam ungkapan keseharian pula penyebutan korps tanpa unsur keanggotaan maupun jumlah diterima sebagai kelaziman. Misalnya, “Anak saya TNI, Mas. Jangan macem-macem.” Atau, “Cowoknya dia kan Akmil.” Juga, “Istrinya tuh DPR.”
Waduh, si ibu tadi adalah ibunda dari 400.000-an personel TNI — mungkin dia calon ketum partai yang menyebut anggota sebagai “anak-anakku”. Adapun si gadis entah punya berapa pacar dari korps taruna. Dan si pria entah beristri berapa yang kesemuanya anggota parlemen.
Singkat cerita, kata “oknum” berkonotasi buruk. Oknum diserap dari kata Arab uqnum, namun sejauh saya mencari tahu tak persoalan konotasi maupun denotasi. Malah dalam teologi Kristiani, oknum dipakai untuk menyebut tiga pribadi dalam trinitas.
Maka misalnya ada tajuk berita “Oknum Kolonel TNI AD Dirikan Taman Bacaan” akan diprotes. Tindakan baik lagi mulia macam itu bukan standar perilaku oknum, itu hal bagus bagi citra korps.
Nah, kembali ke berita Sorong, ada hal yang menarik, yakni keterangan Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal Nugraha Gumilar di Jakarta: “Penyebabnya terjadi kesalahpahaman di antara anggota Brimob yang ditegur oleh anggota TNI AL.” (¬ Kompas.id). Pihak militer pun memakai kata “anggota”, bukan “oknum”.
Bagi media berita, ucapan Nugraha ini memberikan rasa aman dalam berbahasa. Selama puluhan tahun penerapan kata “oknum”, sebagai potret relasi kuasa dan bahasa, telah merasuki masyarakat dalam bertutur lisan maupun tertulis. Namun saya belum tahu apakah dalam puisi dan fiksi kata “oknum” juga ada.