Jika usia Anda di bawah 49 tahun, tulisan ini tidak menarik. Kenapa? Untuk yang berusia di atas itu pun belum tentu menarik. Soal apa? Saya temukan kartu Aquarius Fans Club, keluaran 1986.
Saya punya kartu ini karena mendaftarkan diri sebagai anggota klub. Saya memperoleh buletin musik dan dapat menggunakan kartu untuk beroleh diskon, tetapi hanya di toko milik Aquarius di Jakarta dan Bandung, padahal saya di Yogyakarta. Alasan lain? Untuk kepentingan studi.
Kartu plastik ini seukuran kartu debit sekarang. Dahulu, ketika kartu kredit belum menjadi milik banyak orang, barang itu hanya diketahui awam dari iklan American Express di majalah. Saat itu ATM belum ada di Indonesia selain milik Bank Niaga dan Hongkong Bank di Jakarta.
Tetapi kartu kredit sebagai standar ukuran sudah diterapkan untuk aneka hal yang bisa masuk dompet. Misalnya kalkulator mungil dan buku telepon lipat. Saat itu, SIM belum seukuran kartu kredit.
Ya, kartu ini berhubungan dengan kaset bajakan. Tepatnya: kaset musik asing, biasanya lagu Barat, yang ilegal. Aquarius dan jenama perekam lain di mata dunia adalah pembajak, karena menggandakan rekaman lagu tanpa seizin pemilik hak cipta.
Di mata pemerintah, para perekam itu bukan pembajak karena Indonesia sudah keluar dari Konvensi Bern 1955. Maka Indonesia adalah surga kaset bajakan. Orang luar juga senang memborong kaset bajakan. Di Mahogany, Kuta, Bali, koleksi jualan kaset musik Barat bajakan lengkap.
Kaset ilegal masa itu memperkaya jelajah dengaran masyarakat Indonesia sebelum ada MTV, MP3, dan kemudian video maupun audio dalam pengaliran (streaming). Tahun 1980-an sudah ada CD musik namun penetrasi cakram, pun pemutarnya, tak luas.
Menjelang akhir 1988 tak ada lagi kaset bajakan. Ringkasan ceritanya sila simak video ini.
Dalam masa jaya kaset bajakan, merek yang berkibar antara lain Aquarius. Mulanya merek ini menggunakan sampul kaset kertas foto hitam putih dengan daftar lagu berupa kertas tembusan karbon, awal 1970-an (¬ lihat contohnya blog Denny Sakrie, 2013).
Kemudian kertas daftar ditinggalkan, daftar lagu ada dalam kertas foto, pada sisi setelah lipatan tengah, ditulis dengan mistar stensil huruf untuk drafting pen yang disebut rapido — padahal Rapido itu merek.
Ada satu jenama unik, Yess (ya, dengan dua “s”) , dari Bandung, yang selalu menggunakan art carton bergradasi, hijau ke putih, atau biru ke putih, dengan teks dari mesin handpress — mirip sampul skripsi masa itu. Ada foto persegi, repro sampul piringan hitam, yang ditempelkan di sana.
Perekam yang didirikan oleh Lin Fung, pemilik toko sepeda di Bandung (¬ Denny Sakrie, 2010), dengan nama — kalau saya tak salah ingat — PT Diamond Bandung, ini berani menerbitkan album yang artisnya kurang populer di Indonesia.
Nugroho Wahyu Utomo menulis di Suara Merdeka (2022), selama 1977—1988 Yess telah menerbitkan 731 seri kaset. Dia mencatat, “Akan tetapi di pertengahan tahun 1980-an, Yess semakin kehilangan ciri khasnya sebagai perekam penyanyi dan musisi kurang dikenal di Indonesia.”
Sebagai artefak, kaset-kaset yang kemudahan disebut ilegal itu masih dijajakan di lokapasar. Kenapa? Masih ada kolektor kaset. Tetapi pemutar kaset tak berarti murah. Tape deck Teac dan Tascam kondisi baru bisa Rp8 jutaan.
Sekali lagi, kaset bajakan, yang murah, apalagi kalau hasil kompilasi sekian artis dari pelbagai label —suatu hal yang sulit diterapkan dalam kaset legal — telah memperkaya dengaran musik orang Indonesia, termasuk para musisi.
4 Comments
di Berlin saya melihat artis-artis terkini banyak yang merilis album pake kaset. tentu saja target marketnya bukan saya, karena harga pemutar kasetnya mahal.. 😅
Di Indonesia juga ada yang begitu, bikin kaset, untuk segmen khusus.
Bahkan jasa pengisian kaset kosong ada, pakai duplicator swakriya, rumahnya di gang sempit, jadi langganan band indie.
Masihkah ada tokonya di depan gultik Melawai?
Aquarius Mahakam sudah tutup 2013, Pak