Nama toko di dekat Pasar Kecapi, Pondokmelati, Kobek, Jabar, ini tidak saya ketahui. Tulisan yang menonjol cuma Serba Rp35.000. Di toko inilah, Februari lalu, saya membeli ransel murah meriah.
Tadi malam toko ini agak lebih ramai dari biasanya. Mungkin banyak orang mencari tas untuk mudik. Pada tahun ajaran baru juga ramai banyak anak butuh tas baru.
Tetapi saya membatin, bukannya puncak gelombang mudik terjadi tiga hari sebelumnya? Mungkin sebelum puncak mudik, toko ini lebih ramai.
Lalu saya berpikir lain. Kini tas untuk bepergian adalah barang biasa, mudah didapatkan dengan harga murah, dari ransel sampai tas jinjing. Begitu pun dengan koper. Di terminal bayangan dan agen bus sudah biasa kita melihat penumpang bus membawa koper kabin.
Tas besar sederhana, untuk berbelanja, kini juga murah. Ukuran jumbo, dengan plastik mirip taplak meja, terjahit, beritsleting, bisa didapatkan dengan harga Rp15.000.
Lho, memangnya dahulu urusan tas perjalanan dan koper tidak mudah? Sampai pertengahan 1990-an saya masih melihat orang naik bus malam dan kereta api membawa kardus disertai tas plastik tebal dari toko busana. Saya malah pernah menjemput orang yang datang ke Jakarta membawa kardus wadah pakaian.
Saya tak tahu bagaimana pada zaman tidak enak, ketika pilihan tas hanya koper yang tentu mahal, orang bepergian membawa wadah apa. Pakaian dibungkus kain taplak? Saya tak dapat memastikan.
Koesalah Soebagyo Toer dan Soesilo Toer, keduanya adik Pramudya Ananta Toer, ketika datang bertiga ke Jakarta dari Blora, bersama seorang adik Pram lainnya, pada 1950, membawa besek besar, untuk wadah pakaian, buku, dan lainnya. Saat itu usia Koes 15 tahun. Sedangkan Soesilo 13 tahun. Mereka mengenang:
“Kami bertiga tidak biasa mewadahi semua itu, karena memang kami tak punya wadah, tas atau yang lain, apalagi koper. Karena itu, Mbak Oem membeli dua besek besar dari bambu yang bisa menampung segalanya bercampur-baur, termasuk pakaian, makanan, dan air minum dalam botol.”¹
¹) Koesalah Soebagyo Toer & Soesilo Toer, Bersama Mas Pram: Memoar Dua Adik Pramoedya Ananta Toer (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2009), hal. 56