Tadi saya amati gelang pipa sadel yang memegang mur baut itu kendor. Ternyata lubang mur baut atas sudah retak. Sedangkan lubang bawah sudah jebol pada bagian penahan mur. Apa boleh buat, ternyata bahan plastik untuk bracket atau dudukan itu kurang kokoh menahan tekanan yang menjepit dari depan dan belakang.
Apakah cedera tersebut karena tekanan yang teramat berat? Dalam pengandaian saya tidak. Saya pernah dua tiga kali memasang bracket sejenis, untuk menahan kunci spiral sepeda, semuanya kuat sampai saya pensiunkan karena anak kuncinya hilang sehingga spiral saya buang.
Lalu? Mari bicara hal lain namun masih tentang tekanan. Ya, tekanan terhadap manusia dalam kehidupan. Bermacam-macam wujud tekanan itu. Ketika seseorang tak tahan, sehingga kesehatan mental maupun fisiknya terganggu, kita mudah mengatakan dia lemah.
Setiap orang memiliki kelemahan, namun bagi orang lain titik kelemahan tersebut tak semestinya bertahan.
Kalau dia, si lemah itu, adaptif pasti akan teratasi. Hanya makhluk yang adaptif, bukan yang kuat, yang akan bertahan dalam seleksi alam, demikian kita berkata, dengan mudahnya, seolah kita selalu menjadi pemenang segala hal dalam kehidupan.
Bicara di depan orang memang tampak mudah. Ah, tergantung bicara apa kepada siapa. Seorang perempuan muda pernah keluar dari pekerjaannya, karena setiap kali harus mempresentasikan produk alat kesehatan dia berkeringat dingin, berdebar, pening, dan tak dapat berkata-kata.
Akhirnya dia menemukan kenyamanan sebagai pengasuh bayi. Ketika si bayi sudah kelas enam SD, perempuan itu masih dipertahankan oleh keluarga yang mempekerjakan dirinya, sebagai pendamping anak-anak. Dia diajari mengemudi, diserahi mobil, kadang mengantar jemput anak-anak bosnya les.
Dahulu setiap kali dia mengeluh tak cocok dengan pekerjaan yang mengharuskan presentasi, banyak orang bilang, gitu aja kok repot. Presentasi dalam bahasa Indonesia apa sulitnya?
Orang Jawa menyebut mencemooh itu maido. Kita, termasuk saya, gampang maido tanpa tahu masalah di balik permukaan.
Bersimpati mungkin mudah, tetapi kalau disertai empati, yakni menempatkan diri sebagai orang lain, kita sering gagal. Bahkan baru mendengar keluhan pun tak tahan.
Kita sering menuntut orang lain punya kemampuan artikulatif yang efektif, dalam arti saat mengeluh atau mengadukan masalah bisa ringkas tetapi relatif lengkap seperti liflet dalam kemasan obat.
Masalah orang lain dalam menghadapi tekanan, dari perisakan (bullying), intimidasi, pelecehan seksual, dan lainnya, sering kita anggap enteng. Bahkan misalnya kita pernah mengalami, itu pun bukan alasan untuk menganggap enteng masalah orang lain yang serupa dengan yang hal yang pernah kita hadapi.
Ini ini hanya renungan saya, mencoba becermin diri, gara-gara mur baut sepeda. Jika Anda menganggap saya sedang menasihati orang lain, saya akan mendukung Anda yang menanggapi tulisannya ini, “Enak aja ngomong. Semua orang juga bisa.”
2 Comments
kalo dalam dunia engineering, kalo mengencangkan baut ada prinsip, “kencang tapi jangan terlalu kencang”. bahkan ada berapa “Newton meter”-nya kalo ingin presisi
Nah! 👍💐👏