Yuyuk Kukuruyuk, sebut saja begitu, hanya bisa mondar-mandir dalam radius goresan jangka. Kaki kanan ayam jago itu terikat tali rafia hitam serentang hampir semeter, ujung satunya tersangkutkan pada keranjang wadah buah alpukat dan selongsong ketupat.
Saya bertanya kepada pelapak mengapa ayamnya diikat. Dia bilang, “Kan belon jadi opor, Pak. Nunggu nasib aja dia. Tinggal satu. Tadi sih banyak. Entar orang beli kupat masa nggak beli ayamnya.”
Di pelataran toko itu, dekat Pasar Kecapi, Pondokmelati, Kobek, ada penjual alpukat dan selongsong ketupat. Ya, Lebaran sudah amat dekat. Memotong ayam kampung tidak dapat dilakukan dadakan. Tadi saya lewat sebuah kios daging ayam, banyak orang merubung penjualan yang sedang memotong daging teman Yuyuk beda ras. Setiba mereka di rumah, ayamnya bisa masuk panci maupun pembeku.
Juga tadi, dalam perjalanan pulang, saya menyalip seorang pria tua yang berjalan kaki menggendong segepok janur kuning dalam karung. Saya tidak dapat memotretnya sambil mengayuh sepeda. Mungkin dia akan ke Pasar Pondokgede. Malam hingga menjelamg subuh pasar itu ramai, apalagi menjelang Idulfitri.
Saya membatin tak adakah anak atau cucunya yang memboncengkan pria itu dengan sepeda motor karena di area saya banyak motor, juga yang butut dan bodong, boleh dibilang setiap rumah punya.
Berapa harga segepok janur, seekor ayam kampung, dan sepuluh buah selongsong ketupat, saya tak mencari tahu. Sungkan bertanya tanpa membeli. Tetapi untuk memotret ayam dan selongsong ketupat saya meminta izin kepada penjual.
2 Comments
saya malah mikirnya, apa ngga lebih mahal dan lebih repot motong ayam hidp ya, paman?
Nyatanya masih banyak yang melakukan karena pake ayam kampung