Ragu dan tidak percaya itu beda tipis. Ragu itu berarti belum percaya, belum yakin, namun masih menyediakan ruang untuk koreksi jika suatu hal akhirnya terbukti, sehingga dapat dipercaya.
Adapun tidak percaya, pada kutub yang ekstrem, adalah harga mati sonder korting. Lebih tegas jika diawali “pokoknya”. Tak ada tawar menawar dengan maupun tanpa surat menyurat apalagi cubit-cubitan.
Lalu bagaimana skeptisisme kaum yang kecewa terhadap Jokowi pasca-putusan Mahkamah Konstitusi, padahal mereka dahulu pendukung bahkan pencinta tokoh tersebut?
Jenis pertama, penganut skeptisisme positif, meragukan segala janji dan bantahan Jokowi, termasuk misalnya terhadap testimoni Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto belakangan, yang membuka borok. Atau, jika ada, sanggahan Jokowi terhadap pengisahan buram oleh F.X. Rudyatmo, eks wali kota Solo. Kaum ini tetap ragu sampai kemudian terbukti bahwa ocehan Jokowi bisa dipercaya.
Sedangkan kelompok kedua, di ujung lain, tak hanya ragu namun sama sekali tak percaya kepada ucapan Jokowi setelah skandal etika politik Gibran. Skeptisisme negatif kaum ini bisa dianggap tanpa sikap kritis, kurang bernalar, namun mereka punya kilah. Dulu mereka mendukung dan menyukai Jokowi juga tak sepenuhnya digerakkan akal sehat. Ada pasal emosi dan sentimen. Persoalan hati.
Tetapi di mata kaum yang konsisten anti-Jokowi sejak dahulu, kedua kubu skeptis itu tetap layak jadi bahan tertawaan: “Ke mane aje ente selama delapan tahun?”
¬ Foto: Rusman / BPMI Setpres
3 Comments
Kemane aje Mobil Esmeka selama delapan tahun (atau berapa tahun sih)?
Lha orang Solo pasti lebih tahu, pernah liat mobil itu di jalan to?
Iya, liat mobil itu di jalan dalam kompleks Balai Kota Solo😂. Satu mobil saja😁