Sore tadi pukul setengah lima, langit di depan gelap karena mendung. Jelas, itu pertanda akan hujan. Saya keluar, menengok ke arah langit di belakang rumah. Hanya berawan kelabu.
Maka saya bilang kepada istri, “Cuma selatan yang mendung gelap. Kranggan dan Bogor yang bakal hujan deras. Di atas rumah kita nggak gelap amat. Di utara juga.”
Benar, sepuluh menit setelah saya memotret mendung maka hujan turun, deras sekali, disertai angin dan tebaran butiran tempias di teras. Tetapi hujan deras hanya sepuluh menit, sisanya dilanjutkan oleh gerimis.
Cuma selatan yang mendung. Kalimat itu acap saya ucapkan. Bagi orang rumah, keterangan arah, yakni selatan, tidak penting. Kata “sana” dengan menunjukkan tangan lebih mengena.
Saya pernah menulis, sebagian orang kota besar yang tidak salat — terutama non-Muslim — kurang hirau mata angin di luar tempat tinggalnya karena tak berkepentingan dengan kiblat. Maka anehlah saya, untuk menunjukkan cuaca saja masih menyebut arah.
Apakah saya paham arah? Tidak. Saya tahu rumah saya menghadapi selatan karena merujuk arah matahari terbit dan melihat orang salat di rumah saya. Setelah itu saya mencocokkan arah ke buku peta Gunther W. Holtorf karena pada 1993 belum ada Google Maps.
Di luar area saya, saya harus berpikir keras untuk memastikan mata angin.