Iqbal Gedibal mengakui dirinya tak cakap berhitung. Sulit mengolah angka secara awangan. Harus dibantu coretan di kertas dan kalkulator pada ponsel.
Nyatanya sudah tujuh tahun usahanya jalan. Dia sebut kecil-kecilan, punya empat pegawai termasuk sopir, sebagai penyalur aneka kemasan kertas. Dia tidak punya percetakan. Dia dulu pegawai bagian umum pada sebuah penerbit.
“Ajaib, kok bisa ya?” tanya Kamso dalam buka bersama empat kawan. Mereka lebih muda dari Kamso, dan tentu lebih produktif.
“Aku juga heran. Ini kersaning Gusti Allah, Mas,” kata Iqbal.
“Waktu pandemi gimana, Bal?” tanya Robin Bluwek.
“Pemasukan kurang sih tapi tetap ada order. Kan via telepon semua, kalo pelanggan, juga via WA, surat pemesanan menyusul. Ada juga yang lewat marketplace. Anak-anak masuk gantian. Soal desain kan dibikin di kos mereka. Urusan kirim kan ditangani kurir luar. Gak perlu gudang gede, soalnya barang cuma singgah sebentar.”
“Selalu bisa kasih THR?” tanya Budi Sirsak.
“Alhamdulillah bisa. Kadang aku lebihin.”
“Gimana caranya? Soalnya usaha kakakku selalu repot soal THR,” celetuk Hari Mau.
“Gampang. Misalnya gaji seorang anak Rp5 juta sebulan. Nah, aku tuh ngitungnya gaji dia hampir Rp5,5 juta, tapi mereka nggak tahu, jadi tetep dapet Rp5 juta. Nah kelebihan yang aku rahasiakan itu kalo dikali dua belas kan senilai THR.”
“Lha angkanya kan nggak bulat semua? Tiap orang juga beda-beda, antara lain karena posisi dan masa kerja? Padahal kamu sendiri ngaku nggak bisa ngitung, Bal? Juga nggak bisa Excel, kayak aku?” tanya Kamso.
“Lha istriku dulu kasir toko. Dia yang bikin rumus ini-itu termasuk soal pajak, dan bikin panduan buat cash flow. Lantas sekretarisku merangkap kasir yang menjalankan. Dia nggak di bawah koordinasi istriku karena yang bos itu aku. Namanya juga CV, Mas. Mudah.”
“Bos yang nggak bisa ngitung awangan,” sergah Budi.
“Soalnya cara mikirku simpel, nggak suka yang mengawang-awang kayak kalian, lalu pusing sendiri,” jawab Iqbal.
¬ Gambar praolah dihasilkan oleh kecerdasan artifisial