Warung kecil di pinggir jalan ramai, berupa rombong rokok maupun kios mini, adalah spot berharga. Di sana, orang yang tidak merokok pun bisa membeli permen, tisu, camilan, minuman, kadang juga sekalian memecahkan uang. Pun di sana kita dapat menanyakan alamat. Atau berteduh sejenak sambil menunggu ojek, angkot, dan taksi.
Maka dahulu saya menyebut warung rokok sebagai penyelamat. Apalagi pada malam hari. Kelak setelah rokok sulit didapatkan, namun tata ruang kota masih menenggang warung kecil di pinggir jalan, spot aman itu masih ada. Karena dia menjual permen, minuman, dan seterusnya — kecuali rokok.
Lamunan macam itu menyusupi benak saya saat duduk bertopang dagu di warung kecil sebelah SPBU Jalan Ahmad Yani, Kobek, seberang deretan Ace Hardware, Living Plaza. Cerita seputar suasana di area sana sila lihat pos tentang pagi bergegas di Bekasi.
Saat itu saya heran, mengapa di tepi jalan besar, ramai pula, yang berisi bangunan kantor niaga, masih ada deretan warung sederhana. Saya menduga di belakang warung ada permukiman. Saya cek di Google Maps ternyata benar. Memang sih, keberadaan tempat penitipan motor di tetangga warung itu bisa menopang penjualan.
Mengapa saya berpikir soal permukiman? Dagangan yang tampak dominan di warung ini adalah camilan dan minuman. Hanya di permukiman, apalagi kalau ada sekolahnya, warung macam ini laris. Kalau warungnya di tepi jalan protokol, berarti titik di situ adalah tempat orang naik dan turun angkutan umum.
Lalu kenapa tadi saya menyebut tata ruang kota? Kebutuhan bisnis membutuhkan lahan. Ada yang tumbuh organik, dan ada yang terencana. Kelak ketika lahan di belakang warung menjadi apartemen atau lainnya, pasti si warung juga lenyap karena tanahnya dibeli investor.
Lalu jadilah lingkungan modern yang jika tertata rapi tak ada lagi warung kotor di pinggir jalan apalagi warung kaki lima. Itu tak terhindarkan. Di Jakarta pada zaman Gubernur Ahok, rombong rokok di ruas jalan tertentu lenyap, Satpol PP menjadi penertib.
Lalu adakah spot persinggahan pengganti warung-warung ini? Pasti ada. Berbeda rupa. Selalu ada solusi. Dalam kasus lain lihat saja stasiun kereta api setelah ditata sejak zaman Jonan.
Sekarang warung macam ini bisa bertahan karena dukungan ekosistem. Dari penguasaan tanah oleh warga — apapun statusnya — sejak sebelum Kobek ditata lebih modern, tempat penitipan motor, permukiman lama, tempat naik turun penumpang angkutan tetapi bukan halte, hingga sistem transportasi publik. Semuanya berkelindan.
Jika menyangkut spot untuk keamanan dan keselamatan warga di jalan, tanggung jawab polisi menjadi taruhan. Kamera CCTV di mana-mana dan patroli rutin hanya sebagian dari pencegahan kejahatan jalanan (street crime). Begitu pun lampu penerangan jalan.
5 Comments
BTW, “liputannya” bagus, pun yang Pagi Bergegas….
Terima kasih. Saya sih tak merasa sebagai “jurnalis warga”. 🙈
Bloger sajalah.😁
Selain duduk bertopang dagu, Paman beli apa di sana?
Roti dalam foto, kapucino hangat, lalu mengasap