Sudah tiga puluh satu tahun saya bermukim di Kobek (Kota Bekasi), Jabar. Namun baru pagi itu saya berangkat ke suatu tujuan di Jakarta dengan bertolak dari tengah kota, depan Living Plaza, Jalan Ahmad Yani. Ada halte di sana. Jaraknya sejauh sebelas kilometer dari rumah saya. Untuk mencapainya saya membayar Gojek Rp36.000.
Pagi basah becek karena hujan semalam, ditambah gerimis tipis sebentar, pukul enam lebih sedikit, orang-orang berangkat kerja. Namun tak ada gegas berjejal seperti di stasiun kereta api. Hanya motor dan mobil yang mencoba bergegas di jalan tetapi lalu lintas merambat.
Sebagian besar orang bergegas. Ada yang langsung mengantre setelah bus datang. Ada pula yang langsung menghambur ke jalan aspal basah untuk menyambut mobil jemputan dari kantornya.
Tentu ada pula yang duduk sabar menunggu. Ada juga yang sambil berdiri. Namun aktivitas mereka di tengah gegas itu sama: menatap layar ponsel, teman setia sepanjang masa. Saya memeras ingatan, mencoba mengenang apa yang dahulu dilakukan orang saat menunggu sesuatu, termasuk di halte, namun belum ada ponsel.
Lama, empat tahun lebih, tak bepergian pagi di tengah orang yang berangkat kerja membuat saya tertinggalkan oleh perkembangan. Saya baru tahu bahwa lantai halte bisa menjadi media luar ruang untuk iklan. Tentu lama kelamaan stiker iklan itu memudar dan mengelupas. Kotor oleh tanah itu pasti. Apalagi musim hujan.
Di depan halte, orang datang dan pergi meneruskan perjalanan. Termasuk beberapa orang yang lama menanti namun tertemani ponsel. Dari halte saya tengok tangga JPO. Sedikit sekali, tak sampai tiga orang, saya melihat orang naik maupun turun tangga JPO di samping halte.
Untuk memanfaatkan waktu daripada ngaplo saya ingin menyeberang. Harus melalui JPO. Di dek atas saya lihat dua pria berdiri memandangi jalan. Mereka sama: tak membawa ransel, hanya berselempang tas kecil yang mirip tas pinggang. Entah kenapa saya memikirkan kamera CCTV.
Setibanya di seberang jalan, saat menuruni tangga saya melihat sejumlah pemotor menepi, dan memperlambat laju. Pasti di situ ada penitipan motor. Dan pasti ada warung yang menjual penganan serta minuman hangat. Namun saya sempat waswas, ini bulan puasa, belum tentu warungnya buka.
Betul. Ada warung. Buka pula. Banyak camilan sasetan di sana. Kopi dan sejenisnya juga ada, semuanya siap seduh. Minuman dingin pun ada. Seorang pria duduk membelakangi jalan, tertutup struktur beton, sedang menikmati minuman hangat.
Warung itu tidak buka 24 jam. Kata pemiliknya, biasanya warung buka saat orang mulai berdatangan menitipkan motor, menjelang pukul enam, lalu warung tutup pukul sepuluh malam.
Saya mencoba berjarak dari gegas kota, lagi pula saya tak berpuasa. Saya menyeruak ke sudut warung di depan dagangan yang hanya terisi satu kursi, duduk di situ, dan memesan kapucino sasetan yang aduh, sudah ada gulanya tentu saja.
Karena belum sarapan — saya dijemput ojek pukul setengah enam, saat seisi rumah masih tidur — saya membutuhkan ganjal perut. Dapat roti plastikan. Jika digabung dengan kapucino harganya Rp6.000.
Saya letakkan tas lengan kanvas di atas meja. Selebihnya saya duduk bertopang dagu. Saya kirim pesan via WhatsApp kepada seseorang, “Kalo udah dekat halte miscall aku aja.”
Saya kurang suka berteleponan di tempat ramai.
4 Comments
Tas 501….
Kanvas tebal, jahitan kuat. Saya lbh suka tote bag yang kanvas daripada yang denim dari produsen yang sama.
👍