Coba Anda tik di WhatsApp Anda, menyalin teks judul laporan utama majalah Tempo dalam sampul: motor angket pemilu curang. Boleh juga kapital semua. Atau hanya kapital pada huruf pertama setiap kata.
Tanpa melihat sampul Tempo, orang lain akan menyimpulkan bahwa motor penggunaan hak angket di DPR, yakni Jusuf Kalla dan Megawati Soekarnoputri, melakukan kecurangan. Namun jika melihat sampul, dan membaca keterangan di bawah judul, masalahnya menjadi lebih jelas.
Tidak, tidak. Saya tidak sedang membahas politik melainkan tipografi dalam desain grafis. Berbeda kesimpulan orang saat membaca teks dalam sampul tersebut dan dalam WhatsApp. Kenapa?
Meskipun ukuran fon sama, penggunaan huruf tebal dalam “motor angket” telah menegaskan bahwa dua kata tersebut, yang atas ekonomi kata mengenyahkan kata “tentang”, merupakan kesatuan. Begitu pula “pemilu curang” yang ditulis dalam huruf lebih tipis.
Sekarang bayangkan jika kata-kata dalam judul adalah “motor angket pemilu” ditulis dalam huruf reguler kemudian disusul teks huruf tebal “curang” dengan ukuran sama. Apa yang akan Anda simpulkan?
Permainan tipografis adalah hal lazim dalam desain grafis. Pembaca pun terbiasa. Kata-kata utama, dalam ukuran fon lebih besar, juga dapat ditaruh di bawah teks judul yang lebih kecil.
Di luar urusan media berita, Anda juga terbiasa melihat spanduk dengan tulisan menonjol “dijual” pada pagar sebuah rumah, lalu di bawahnya ada “Anita”, dan di bawahnya lagi “0812xxxxxx”. Siapa yang dijual? Anda jangan keburu melapor ke polisi tentang dugaan pelanggaran terhadap UU Tindak Pidana Perdagangan Orang.
3 Comments
Anita? Kok tidak dipotret?
Anita sedang masak
😂