Tembok cuil, tembok rompal

Tembok cacat: nyeni sebagai foto, jelek sebagai kenyataan. Dunia visual berupa pembekuan yang terlihat mata bisa lebih indah.

▒ Lama baca < 1 menit

Tembok cacat: nyeni sebagai foto, jelek sebagai kenyataan

Iseng. Sering saya lakukan. Kadang tanpa berpikir panjang. Maka ketika seorang penunggu sebuah rumah yang saya inapi tempo hari heran, buat apa saya memotret tembok rompal, saya hanya dapat menjawab, “Ini menarik, Mas.”

Untunglah dia tak mendesak apanya yang menarik, lalu fotonya akan dipakai untuk apa. Saat memotretnya saya juga tak tahu untuk apa.

Barusan saya temukan foto ini dalam ponsel. Niat hati rajin membersihkan gambar dalam ponsel tetap saja ada yang terselip. Anda pasti juga sering mengalami, apalagi untuk foto hasil jepretan sendiri.

Lantas? Tadi saya membayangkan foto ini untuk sampul buku entah apa isinya pokoknya bukan tentang kuliner maupun perkawinan. Atau, kalau CD masih laku, bisa untuk sampul CD musik — namun saya yakin tak semua genre suka sampul album sok simbolis tanpa wajah artis.

Jadi alasan menarik untuk memotret tembok pagar setinggi dua meter ini apa? Di mata saya tampak indah. Tepatnya: indah sebagai gambar. Misalnya saya jadi pemilik tembok tentu akan saya tambal karena tidak estetis menurut saya.

Jendela besar dalam rumah dempet di Jakarta

Tinggalkan Balasan