Ketika Kamso datang, ibu-ibu masih berdebat soal pilpres setelah arisan selesai. Kamso menyusul untuk menjemput Kamsi, membawakan payung, karena tempat arisan sejauh seratus meter dari rumah.
Sahibulbait, Bu Alya Daun dan suaminya, menyambut. Pak Ali Daun mempersilakan, “Mari Mas Kam. Lagi seru nih, kayak di TV.”
“Ini bukan soal angka, bukan soal apakah akhirnya bisa memakzulkan Jokowi. Juga bukan apakah perlu pilpres ulang atau batalin pemenang…,” Kamsi berucap.
“Artinya kan nggak ada gunanya, Jeng. Jadi kenapa dilakukan?” timpal Bu Ani Timun.
“Iya, diterima aja. Tinggal rakyat mengawal dan ngawasin presiden baru nanti, ” kata Bu Ana Lemper.
“Kita nggak akan maju kalo bertengkar mulu,” sela Bu Jeni Melati.
“Buat saya alasan Jeng Kamsi penting. Tapi maaf lho Jeng, kenapa baru sekarang disampaikan? Semua udah terjadi,” kata Bu Menur Tower.
“Iya sudah jelas akhirnya mentok. Oktober udah pelantikan presiden. Kalo Munas Golkar dimajukan, bukan November, Jokowi udah pegang partai itu, bukan sebagai ketum sih. Belum lagi reses DPR, nggak bakal lancar deh. Ini bukan soal salah benar, tapi nggak ada gunanya berlarut-larut,” kata Bu Afifah Mangut dengan sareh.
“Gini lho,” jawab Kamsi, “yang utama itu proses untuk edukasi rakyat, dan Jokowi, bahwa langkahnya nggak bener, curang sejak awal, melanggar etika. Nah jangan sampai itu terulang karena cara Jokowi dengan memanipulasi demokrasi dianggap benar. Manipulasi mengatasnamakan suara rakyat.”
“Udahlah, Jeng. Percuma. Jangan nurutin politikus. Besok Ramadan, lalu Lebaran. Paling pada bermaaf-maafan, ada buka bersama, lalu halalbihalal. Kita, rakyat, tahu dirilah,” sergah Bu Atika Pucuk.
Tetapi Bu Musdalifah Blender menukas, “Janganlah Ramadan jadi melemahkan. Perang Badar dilakukan saat Ramadan. Perang Uhud juga. Proklamasi tahun empat lima sebagai revolusi juga pas Ramadan.”
¬ Ilustrasi dihasilkan oleh kecerdasan artifisial
3 Comments
Wong ndablek kok mau diedukasi to, Tante Kamsi! Percum tak bergun!
Waini…
🤭🤭🤭
😁