Lihatlah ejaan pada stiker etalase kaca warteg di area saya: taur & trevel. Anda yang merasa orang terdidik bisa memaklumi namun bisa juga mentertawai.
Begitulah, bahasa bisa merepotkan. Salah satu sebab, banyak orang mendapatkan istilah baru maupun istilah lama yang terus laku itu lebih sering dari mendengar, bukan membaca. Padahal mendengar dan membaca itu saling melengkapi.
Yang menjadi masalah adalah mendengar dari siapa dan membaca apa. Narasumber dengaran dan sirkel pergaulan berpengaruh. Tetapi bukankah ada media sosial, artinya membaca tak harus dari buku dan media berita yang tertib berbahasa?
Bahasa yang hidup adalah bahasa yang sering dipercakapkan banyak orang, secara lisan dan tertulis. Media sosial meneruskan gaya bahasa lisan. Menjadi aneh jika media berita menulis ejaan istilah asing semaunya.
Jika menyangkut bahasa asing, misalnya Inggris, cara pelafalan saya pun memalukan. Di telinga orang lain, cara saya mengucapkan “surface” dan “service” itu sama. Begitu pula “mail” dan “male“. Mungkin juga untuk “sake” dan “sick“. Pun untuk “sail“, “sill“, dan “sale“.