Ini rak atau etalase? Tapi gimana gitu…

Mungkin saya aneh: melihat rak di balik toko rapi keren malah mencemaskan kalau kelak bangkrut. Padahal saya tiada kepentingan.

▒ Lama baca < 1 menit

Toko di M Bloc Market, Blok M, Jaksel

Melihat rak dagangan menabiri kaca minimarket ini pikiran saya jadi melenceng. Yang utama tentu saya lebih suka jika jendela kaca tampil apa adanya, sehingga dari luar orang bisa melihat apa yang ada di dalam. Itu pikiran dan selera wajar.

Justru untuk pikiran yang kedua saya sadar hal itu tidak wajar. Saya khawatir jika suatu saat toko ini bangkrut lalu membiarkan rak dan isinya tetap di belakang jendela, sehingga yang tampak akhirnya toko mati dengan sisa dagangan yang kemasannya terus memudar.

Saya tak kenal pemilik maupun karyawan toko ini. Tapi setiap kali melihat tempat usaha tutup saya menyayangkan sampai akhirnya lupa karena toko berubah wajah, berganti fungsi.

Dulu ketika jalan di area saya belum disebut jalan raya, ada warung pracangan yang juga menjual celengan dari tanah liat. Ketika dia tutup, abad lalu, saya pun menyayangkannya. Padahal saya belum pernah belanja di sana.

Awal 2000-an di area saya ada warga membuat minimarket dalam perumahan dengan jenama sendiri. Lalu usaha itu tamat. Sampai setahun lebih saya masih melihat rak di balik dinding kaca, masih ada dagangannya, termasuk roti, masih terpampang. Semua kemasan sudah pudar. Roti berganti rupa. Setiap kali lewat sana saya agak sedih. Padahal saya belum pernah berbelanja di sana.

Pada setahun pertama Covid-19, ketika ada pembatasan mobilitas dan kerumunan, kedai bakmi Jawa kesukaan saya tutup, ternyata untuk seterusnya. Sampai kini saya dan istri masih menyayangkan hal itu setiap kali lewat di depannya. Saya membatin ke mana bapak pensiunan sepuh pemiliknya.

Tak ada jendela maupun dinding kaca di kedai itu. Tapi seakan-akan terbayang atmosfer saat kami mengudap di sana.

Dinding kaca berlapis rak yang sangat membekas dalam ingatan saya adalah supermarket di lantai atas Pasar Pondokgede, Kobek. Setelah Pondok Gede Asri di sebelahnya beroperasi pada awal 1993, ada plaza berisi Matahari dan supermarket Naga, maka supermarket di atas pasar, kalau saya tak salah ingat namanya Almar, itu pun tamat.

Sampai bertahun-tahun rak di belakang jendela kaca besar dan dagangannya masih ada, tampak kusam berdebu, begitu pun kacanya karena terpapar sinar matahari dan tempias hujan. Akhirnya setelah pasar direnovasi, akibat terbakar, supermarket itu pun tak berbekas.

Hmmm… orang bisa sentimental tanpa alasan kuat. Tanpa dirugikan pula. Mungkin saya yang berlebihan. Anda juga punya melankoli macam ini?

2 Comments

junianto Senin 4 Maret 2024 ~ 21.04 Reply

Mal Robinson (Ramayana) di seberang Stasiun Purwosari, Solo, sudah tutup sejak sekian tahun lalu (mungkin sejak 2020) tapi bangunan masih utuh, lengkap dengan namanya. Tiap kali lewat Flyover Purwosari, dan dari atas melihat bangunan itu, perasaan saya kok gimana, gitu.

Pemilik Blog Selasa 5 Maret 2024 ~ 10.43 Reply

Tampaknya selama bangunan masih ada dan tampang toko masih seperti semula, rasa macam itu ada.

Itu sebabnya dalam pergolakan politik kadang ada penghancuran monumen, patung, dsb, setidaknya merusak, supaya orang segera melupakan. Bukan cara yang bijak bahkan itu salah

Tinggalkan Balasan