Amat menarik, membaca serial liputan Kompas sejak pekan lalu tentang kaum muda calon kelas menengah (aspiring middle class) dan kelas menengah (middle class).
Jurnalisme data dibumikan sehingga pembaca bisa becermin dan membatin begitulah saya dulu, begitulah anak saya sekarang, begitu juga keponakan saya, dan tentu anak tetangga saya…
Sayang belum semua media berita mau melakukan itu. Maka liputan berbasis data maupun investigasi menjadi barang mewah. Data Kompas merujuk Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Badan Pusat Statistik (BPS) 2012—2021.
Tak semua media bersedia melakukan seperti yang Kompas.id (bukan Kompas.com), Tempo, dan Project Multatuli tempuh. Padahal memadukan riset, data primer maupun sekunder, dan temuan di lapangan, yang dikemas sebagai kisah (features) adalah bagian dari standar jurnalistik.
Hari ini rubrik Tutur Visual Kompas melaporkan “Kelas Menengah Lajang dan Menikah di Ibu Kota. Adakah Perbedaan? “.
Kelas menengah itu siapa? Mereka dengan pengeluaran 3,5 hingga 17 kali lipat garis kemiskinan per kapita per bulan. Kata Kompas, “Merujuk garis kemiskinan BPS (2021), rentang pengeluaran kelas menengah dari Rp 1,7 juta hingga Rp 8,2 juta per orang per bulan.” (¬ “Kelas Menengah Indonesia Sulit Menjadi Orang Kaya”).
Menyangkut pemilikan rumah, angkatan baby boomers (kelahiran 1946—1964) dan barisan awal generasi X (1965—1980) bisa maido atau mencemooh, bahwa sejak dulu yang namanya rumah itu mahal bagi banyak orang. Mencicil rumah dua puluh tahun itu berat. Jadi pintar-pintarnya anak muda sekarang cari duitlah. Masalahnya rumah makin muahalll, Bapak dan Ibu…
Jangankan beli rumah, biaya transpor berangkat dan pulang kerja saja berat bagi banyak orang (¬ lihat arsip). Setengah gaji bisa habis untuk mobilitas. Gaji sebulan Rp1,5 juta, yang Rp800.000 buat transpor.
Di luar soal itu, saya teringat ucapan seorang kawan, bukan bekas pekerja media, liputan sebagus apapun kalau orang pada nggak tahu berarti percuma. Apalagi para penentu kebijakan tak peduli. Piyé, jal?
Secara sok tahu dan ngaco saya berkomentar, “Tanpa jurnalisme data dan katanya genit berbobot tapi sok intelek pun mayoritas publik sudah membuktikan hidupnya susah. Berita seleb cerai, putus pacaran, dan pindah agama lebih penting. Bisa melupakan derita.”