Ada “kejarlah daku, kau kutangkap”. Ini menggoda dan menjebak. Tempo hari saya melihat dinding sebuah kedai di Stasiun Gambir, Jakpus, bertuliskan “ku kejar kau sampai ku lamar”. Ini soal kegigihan.
Jika pun dalam prinsip pertama — kejarlah daku… — akhirnya terjadi perikatan asmara, demikian pula dalam prinsip kedua, urusan siapa pelaku siapa korban bisa menjadi tidak penting. Pokoknya yang utama itu mau sama mau.
Dalam kejarlah daku kau kutangkap sebenarnya mau sama mau. Namun salah satu pihak jaim — bisa cowok bisa cewek — lalu pada saat yang tepat akhirnya pura-pura menyerah, dan… “hap!” menyergap. Modus klasik dari generasi ke generasi. Pelaku dan korban hari ini mungkin mengulangi riwayat kakek dan neneknya. Ajian malu-malu tapi mau masih laku.
Adapun dalam kukejar kau sampai kulamar itu selain karena si pengejar memang gigih dan ulet, bisa juga karena sebenarnya keduanya mau sama mau tetapi salah satu pihak jual mahal. Menjadi masalah jika dalam pengejaran muncul sasaran lain yang lebih kooperatif.
Andai kata si terkejar mulanya tak berminat lalu akhirnya takluk, bisa jadi karena lumer kebekuan hatinya sebagai akibat tak sampai hati. Pepatah Jawa bilang, witing tresna jalaran ora tega. Atau, witing tresna jalaran ora ana liya — ya, bersepupu dengan witing tresna jalaran kepeksa.
Kemungkinan lain? Witing tresna jalaran gila. Kata gila dieja gi-lo. Mirip geuleuh dalam bahasa Sunda.
Rute asmara menuju perjodohan sering kali berkelok. The long and winding road. Nah, karena tulisan mengejar untuk melamar itu di stasiun, mungkin si pengejar harus ikut naik kereta sebagai penumpang. Butuh ongkos tetapi tetap lebih murah daripada berlari sepanjang rel mengejar kereta.
Maka inilah inti masalah. Apa maksud juragan kedai menuliskan itu? Memangnya semua pengisi peduli? Jangan berkomentar biar masuk blog lho.
One Comment
Kalimat penutupnya😂