Karya dan daya ingat: Kalau ternyata lupa, apa boleh buat

Kemarin siang, pukul 11.56, seorang sahabat meneruskan konten di X (Twitter) dengan catatan, “Aku share karyamu, Mas.” Dalam previu di WhatsApp hanya tampak sebagian gambar dan saya merasa belum pernah menghasilkan itu.

Kemudian tautan saya klik, sehingga saya sampai di X, dan gambar itu tampak jelas, sebuah infografik. Saya masih yakin itu bukan buatan saya. Namun ketika saya membaca kredit di bagian bawah gambar ada nama saya, infografiknya bertarikh 2019.

Artinya saya lupa. Pertama, karena laju usia telah mengikis memori. Kedua, tanpa penuaan pun daya ingat setiap orang itu terbatas.

Iringan jenazah urutan no.6 Yang punya hak utama Di jalan🤷. pic.twitter.com/vXUyuBsmFw

— Vladclinguk (@Denandos6) February 25, 2024

Dahulu ketika masih bocah dan disuruh ibu saya ke warung, lalu karena tersandung di jalan maupun melihat hal lain yang menarik, setibanya di warung saya lupa pesanan Ibu.

Kini? Jangankan karya berupa apa pun yang pernah terpublikasikan, karena di mana saya menaruh gunting dan kacamata pun bisa lupa, padahal belum ada tiga puluh menit.

Ingatan itu pendek, ada yang isinya lekas terhapus, tetapi ada pula yang masih melekat sebagai residu dalam benak.

Saya menerimanya dengan tawakal. Dan bersyukur jika yang tak teringat adalah hal buruk.

Kelak, entah kapan, saya pun mungkin lupa pernah menulis pos ini di blog.

Lalu? Itulah peran penting orang lain dan teknologi: membantu memulihkan ingatan. Saya masih berat membayangkan bagaimana cara umat manusia, ketika belum mengenal aksara, dalam merawat ingatan kolektif selain dengan tuturan lisan termasuk puisi dan tembang. Pun melalui rajah pada dinding gua.