Urusan melipat kertas suara: Enak pakai mesin atau padat karya?

Dalam sehari seorang pelipat kertas suara bisa dapat Rp750.000. Dari sisi efisiensi sih lebih bagus pakai mesin pelipat.

▒ Lama baca < 1 menit

Jawaban untuk judul di atas itu mudah: padat karya memberikan tetesan rezeki untuk rakyat.

Adapun bonus jawaban politisnya adalah: buat apa pakai automasi pelipatan kertas kalau ternyata kertas suara menjadi bahan main curang, misalnya sudah dicoblos duluan. Atau, amburadul dalam distribusi seperti kasus di luar negeri, sebagaimana dilaporkan oleh Migrant Care.

Biaya lipat kertas oleh mesin saya andaikan lebih murah, dalam arti lebih cepat dan lebih rapi jika dibandingkan secara manual.

Bahwa kebutuhan kertas suara DPR yang berukuran 52 x 82 cm — lebih besar dari A2 (42 x 59,4 cm), namun lebih kecil dari A1 (59,4 x 84,1 cm) — untuk dilipat menjadi 24 bidang lipatan kecil tertutup itu belum tentu dapat dipenuhi oleh semua mesin, orang grafikalah yang lebih paham. Urusan itu menjadi tanggung jawab percetakan yang ikut tender.

Saya belum mencari tahu berapa total biaya pelipatan manual kertas suara se-Indonesia. Namun mobilisasi sukarelawan untuk melipat tentu membawa manfaat rupiah bagi pelakunya.

Di Kobek, Jabar, biaya lipat kertas suara capres adalah Rp300 per lembar. Sedangkan untuk kertas suara caleg Rp450 per lembar (¬ RRI). Kertas suara capres lebih kecil, 22 x 31 cm, sehingga ongkosnya lebih murah daripada empat jenis surat suara lainnya.

KPU Kobek melibatkan 1.300-an tenaga pelipat untuk sembilan juta lembar kertas suara, rampung sekira 20 hari. Jika mengambil rerata biaya lipat per lembar adalah Rp375, untuk sembilan juta lembar dibutuhkan anggaran setidaknya Rp3,37 miliar. Jika air putih disediakan oleh KPU pasti bujet bertambah.

Di DKI Jakarta, dengan bayaran sama dengan di Kobek, setiap pelipat ditargetkan menyelesaikan 2.000 lembar kertas per hari (¬ Tirto, dari Antara). Artinya setiap orang per hari setidaknya beroleh Rp750.000.

Moral cerita: cara manual merembeskan rezeki kepada banyak orang. Maka saya teringat ketika menemani seorang CEO penerbit majalah dari Belanda meninjau percetakan milik penerbit besar di Jakarta. Meneer CEO yang bisa berbahasa Indonesia itu heran, mengapa ada selompok ibu membungkusi buku dengan plastik padahal mesin plastic wrapping itu murah.

Manajer percetakan bilang, itu kehendak pemimpin teratas korporasi untuk membuka lapangan kerja kepada warga sekitar.

Isu efisiensi produksi dalam sejumlah urusan pada suatu masa, bahkan misalnya tak ada penentangan dari pekerja, memang menyangkut pilihan manajemen atas pertimbangan tertentu. Belum tentu mudah.

¬ Foto ilustrasi: Liputan 6 dari AFP, dan Wikimedia Commons

Tinggalkan Balasan