Dua jam lalu mulai kepyur gerimis tipis, maka saya pun bergegas agar segera tiba di rumah. Namun mata saya menangkap sesuatu yang beda, padahal hampir saban hari saya melewati ruas jalan itu: pohon mengkudu atau pace (Morinda citrifolia), yang tumbuh di got, mepet ke tembok. Saya sempat membatin apakah aliran got ini lancar, terutama pada musim hujan.
Saya abaikan butiran titik air nan lembut, untuk jongkok di depan pohon itu dan memotret buah lalu bunga. Untuk foto bunga tak berhasil, blur, karena pohon terus bergoyang tertiup angin. Buah dan kembangnya berayun.
Sejak kapan mengkudu dihargai? Setahu saya pada 1990-an, untuk obat, misalnya sebagai penurun hipertensi.
Dulu waktu saya masih kecil dan melintasi gang di Kampung Margosari, Salatiga, Jateng, saat berangkat dan pulang sekolah sering kali menghindari buah mengkudu matang yang penyet berbuih di atas tanah. Saya membatin inilah buah yang tak bernilai. Tetapi mengapa banyak pohon pace?
Melenyek berbusa, itulah persepsi saya tentang mengkudu sehingga saya terbahak-bahak saat sejawat saya, Mas AKB dari Magelang, pada 1996, menanya Jeng Nawangwulan, fotografer dari Bojonegoro, mengapa menyukai jus pace. Namun saat itu saya belum tahu faedah pace.
Tentang ramuan herbal javanony atau buah noni jawa, saya baru mendengarnya pada 2002.
2 Comments
seinget saya, saya taunya pace bermanfaat dari acara Prof Hembing di RCTI dulu
Kenapa manfaat baru kita ketahui belakangan ya?