Pak Jokowi,
Semuanya sudah jelas. Termasuk dari almamater Anda sendiri. Hulu masalah juga jelas, yakni putusan Mahkamah Konstitusi sebagai perwujudan hasrat berkuasa lagi dari Anda dan keluarga. Lalu dari hulu berlangsunglah hilirisasi masalah.
Jika merujuk dalih capres yang Anda dukung, bahwa semuanya terpulang kepada para pemilih, itu sama saja menurunkan makna pilpres ke kontes menyanyi di televisi yang dulu tergantung pada jumlah SMS yang masuk.
Memang, SMS itu juga demokratis tetapi hanya pas untuk kontes biduan dan biduanita yang memberi ruang kepada publik untuk menyatakan selera. Penyanyi dengan SMS terbanyak tak menentukan nasib negeri ini.
Dalam pilpres sebagai bagian dari proses demokratisasi ada soal kepatutan, yaitu baik dan buruk, pun salah dan benar, sejak dari mula. Persoalan macam ini bukan urusan ndasmu — dua tiga kali di blog ini dengan terpaksa saya membahas umpatan yang tak pernah saya pakai dalam keseharian.
Saya tak kunjung paham mengapa seorang pemimpin dengan reputasi baik, dan tentu ada nilai minusnya, dalam perjalanan ke akhir masa jabatan melakukan tindakan swa-destruktif. Tak hanya terhadap sisi personal diri tetapi juga terhadap demokrasi, bangsa, dan negara.
Gambar praolah: Le Penseur (Sang Pemikir), karya Auguste Rodin, di Taman Musée Rodin, Paris, Wikimedia Commons (CC BY-SA 4.0)
4 Comments
Moto picek kuping budheg….
Hwaduh, sarkas Lik 🙈
Tapi faktual, to?
Setidaknya sampai saat ini.
🙈🙈🙈